Rocky Gerung ”Hujjatul Islam”

Rocky Gerung ”Hujjatul Islam”

Laporan terhadap Pengamat Politik Rocky Gerung kembali ada lagi.-Ilustrasi: Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Istilah hujjatul Islam di kalangan ulama Islam diberikan kepada ulama yang berjasa mempertahankan prinsip-prinsip kebenaran Islam dengan argumen yang sulit dipatahkan lawan. Salah satu ulama pasca-Al-Ghazali yang masuk kategori ini adalah Ibnu Taimiyah (1263–1328).

Al-Ghazali tidak hanya mengajukan argumentasi-argumentasi Al-Qur’an dan sunah, tetapi juga dengan argumen logika yang konsepsional, sistematis, dan ilmiah. Dengan pembelaan terhadap ajaran Islam yang benar sesuai dengan Al-Qur’an dan sunah itu, Imam Al-Ghazali di kalangan para ulama sezamannya dijuluki sebagai seorang Hujjatul Islam yang tiada tandingannya.

Dengan argumen yang kuat, Al-Ghazali menunjukkan kesesatan kaum filsuf melalui karyanya, Tahafut Al-Falasifah (Kerancuan Para Filsuf). Dalam buku itu, ia berargumen berdasar Al-Qur’an dan sunah, juga dengan metode logika sebagaimana yang dilakukan kaum filsuf sendiri. Dari pembelaannya tentang kesesatan kaum filsuf itulah, Al-Ghazali diberi gelar Hujjatul Islam.

Kali ini label itu oleh Fachry Ali disematkan kepada Rocky Gerung. Tentu ini bukan perbandingan apple-to-apple. Fachry hanya ingin menunjukkan bahwa Rocky mempunyai kekuatan intelektual dan kekuatan logika yang kokoh sehingga bisa memenangkan berbagai perdebatan.

Fachry mengatakan sudah mengenal Rocky sejak 1980-an, ketika masih sama-sama muda. Dalam sebuah kesempatan seminar, Rocky melontarkan kritik keras terhadap orang-orang PSI (Partai Sosialis Indonesia). 

Kritik Rocky itu dianggap sangat berani karena PSI adalah partai yang didirikan Sutan Sjahrir dan kemudian menjadi ”avant garde” intelektual Indonesia. Partai itu menjadi ”intellectual powerhouse” pusat kekuatan intelektual tempat berkumpulnya orang-orang terdidik dari generasi pertama Indonesia.

Keberanian Rocky itu menunjukkan kuatnya fundamental intelektual yang dimilikinya sejak muda. Kemudian, dalam perjalanan intelektualnya, Rocky tidak pernah secara khusus masuk dalam jalur intelektual Islam.

Bagaimana kemudian Rocky bisa dianggap sebagai ”hujjatul Islam”? Kemunculan Jokowi 10 tahun terakhir menimbulkan keresahan di kalangan muslim kelas kota, yang tidak mempunyai tokoh berkaliber yang bisa ditandingkan dengan tokoh nasionalis, termasuk Jokowi.

Di saat vakum itulah, Rocky muncul mengisi kekosongan. Kritik Rocky yang keras dan konsisten terhadap kebijakan Jokowi menjadikan kelompok muslim kota merasa mendapatkan hero dan idola dari kalangan nonmuslim. Rocky seolah-olah terintegrasi menjadi bagian muslim kota. Mereka menemukan Rocky Gerung sebagai spoke person (juru bicara).

Penjulukan Hujjatul Islam kepada Rocky bisa saja memancing pro dan kontra. Namun, Fachry hanya ingin membuat analogi sosiologis yang sederhana supaya mudah dipahami.

Beberapa tahun yang lalu, Prof Sumitro Djojohadikusumo juga dijuluki sebagai Ayatullah Ekonomi Indonesia oleh Kwik Kian Gie. Di dunia ini yang punya gelar ayatullah hanya pemimpin Iran yang punya otoritas keagamaan sekaligus politik. 

Bagi Kwik, pengaruh keilmuan dan otoritas profesional Sumitro di  bidang ekonomi sejajar denga otoritas ayatullah dalam politik Iran. Sampai sekarang julukan itu masih melekat, meski sudah jarang disebut. 

Julukan Hujjatul Islam terhadap Rocky, tampaknya, akan terus melekat, terlepas ada yang suka atau tidak. (*)

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: