Merdeka dari Kemiskinan

Merdeka dari Kemiskinan

Bung Karno membacakan naskah proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945.-Perpusnas-

PADA pidato 1 Juni 1945, Soekarno menyatakan, ”Tidak boleh ada kemiskinan di dalam Indonesia merdeka”.  Namun, 78 tahun setelah merdeka, puluhan juta penduduk Indonesia masih dalam kubangan kemiskinan. Bahkan, sekitar 3 juta jiwa miskin ekstrem. 

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, per Maret 2023, jumlah penduduk miskin mencapai 25,9 juta. Itu berarti 9,36 persen dari total penduduk Indonesia yang mencapai 271 juta jiwa. Di perdesaan, penduduk miskin mencapai 12,36 persen.

Jumlah penduduk miskin sebanyak itu pun dengan batasan kemiskinan yang cukup rendah. BPS merilis garis kemiskinan ada di angka Rp 550.458 per orang per bulan. Sebesar Rp 408.522 di antaranya adalah garis kemiskinan makanan (74,21 persen). Dengan rata-rata anggota rumah tangga 4,71, garis kemiskinan per rumah tangga hanya Rp 2.592.657 per bulan.

Bukan hanya 25,9 juta penduduk miskin yang cukup memprihatinkan. Sekitar 40 persen penduduk Indonesia masuk penduduk rentan miskin. Itu berarti lebih dari 100 juta penduduk. Mereka tidak miskin, tetapi pendapatannya hanya sedikit di atas garis kemiskinan. Guncangan ekonomi sedikit saja membuat mereka jatuh pada kemiskinan. 

Data jumlah penduduk miskin itu sangat penting untuk mengukur kesejahteraan masyarakat. Sebab, ini adalah data riil by name by address. Bukan angka agregat atau rata-rata yang tidak merepresentasikan kondisi yang sebenarnya. Contoh saja, lihat income per capita penduduk Indonesia tahun ini yang sangat menggembirakan.

Sejak tahun lalu, misalnya, Indonesia sudah masuk daftar negara berpendapatan menengah-atas (upper-middle income). Menurut World Bank, pendapatan nasional bruto alias gross national income (GNI) per kapita Indonesia sebesar USD 4.580 pada 2022. Itu naik sekitar 9,8 persen secara tahunan (year-on-year/YoY). 

Sementara itu, kategori baru yang dirilis Bank Dunia, negara berpendapatan menengah-atas memiliki GNI per kapita  USD 4.466–USD 13.845. Rentang itu naik dibandingkan sebelumnya yang sebesar USD 4.256–USD 13.205.

Dengan rentang tersebut, Indonesia sudah masuk negara upper middle-income. Namun, sebenarnya Indonesia hanya berada sedikit di atas batas terendah. Artinya, untuk naik ke level atasnya alias negara berpendapatan tinggi, dibutuhkan kenaikan pendapatan tiga kali lipat. 

Negara masuk berpendapatan tinggi jika income per capita-nya di atas USD 13.841. Sebaliknya, jika terjadi guncangan ekonomi sedikit saja, Indonesia bisa langsung turun ke lower middle-income

Angka income per capita  menggambarkan rata-rata pendapatan penduduk Indonesia. Yang dihitung dari seluruh pendapatan nasional –aktivitas ekonomi orang Indonesia di dalam negeri dan luar negeri– dibagi dengan jumlah penduduk. 

Realitasnya, pendapatan nasional disumbang oleh sedikit saja orang Indonesia berpenghasilan jumbo. Rata-rata pendapatan per kapita tidak menggambarkan kesejahteraan rakyat. Sebab, yang merasakan hanya sedikit orang.

Mengapa begitu? Ya, karena ketimpangan kita cukup tinggi. Pada Maret 2023, tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia yang diukur menggunakan Gini ratio adalah sebesar 0,388. Angka itu meningkat 0,007 poin jika dibandingkan dengan Gini ratio September 2022 yang sebesar 0,381. Di perkotaan, Gini ratio bahkan mencapai 0,409 yang tergolong cukup tinggi. 

Gini ratio adalah ukuran ketidakmerataan atau ketimpangan agregat (secara keseluruhan). Angkanya berkisar antara nol yang menggambarkan  pemerataan sempurna hingga satu yang berarti ketimpangan sempurna.

Ketimpangan memang menjadi PR serius pemerintah. Kue ekonomi kita besar, tapi hanya dikuasai sedikit kaum the have.  Ketimpangan ekonomi tampak pada  penguasaan aset atau kekayaan. Catatan Oxfam Indonesia dan International NGO Forum on Indonesia (INFID), kekayaan empat orang terkaya Indonesia setara  kekayaan 100 juta orang termiskin. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: