Merdeka dari Kemiskinan

Merdeka dari Kemiskinan

Bung Karno membacakan naskah proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945.-Perpusnas-

Satu persen orang terkaya menguasai 49,3 persen kekayaan nasional. Bahkan, 10 persen orang terkaya menguasai 75,7 persen kekayaan nasional. Jadinya, ketimpangan ekonomi Indonesia terburuk keenam di dunia (Credit Swiss, 2017). 

Ketimpangan lebih parah ada pada penguasaan tanah. The Institut for Global Justice (IGJ) mencatat, 175 juta hektare atau sekitar 93 persen daratan dikuasai pemodal swasta/asing. Sebanyak 0,2 persen penduduk menguasai 56 persen lahan. 

Catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), 35 persen daratan Indonesia dikuasai 1.194 pemegang kuasa pertambangan, 341 kontrak karya pertambangan, dan 257 kontrak pertambangan batu bara.

 

Fokus Kemiskinan di Perdesaan

Untuk memperkecil ketimpangan sekaligus menghilangkan kemiskinan, kita perlu melihat penyebab dan mencari solusi mengatasinya. Pertama,  fundamentalisme pasar. Yang mendorong orang kaya meraup keuntungan besar dalam perekonomian.  

Selama ini pemerintah lebih banyak menyerahkan urusan ekonomi kepada pasar. Dalam pandangan kapitalisme,  pasar bisa mengatur sendiri. Juga, mengontrol sendiri. Nyatanya, persaingan telah mendorong pelaku pasar yang kuat selalu mendistorsi pasar untuk  memperoleh keuntungan yang besar. 

Mohammad Hatta, wakil presiden pertama RI, tahun 1934 pernah mengingatkan bahwa ekonomi pasar  dalam pandangan Adam Smith hanya ada dalam angan-angan. Sedikit orang yang memiliki science, skill, dan capital (pengusaha besar) pasti akan menang atas sebagian besar orang yang lemah. Tak punya pengetahuan, skill, dan modal. Tanpa keberpihakan, mustahil yang lemah bisa bersaing dalam memperoleh kue ekonomi. 

Untuk ini, pemerintah bisa mewujudkan keberpihakan itu dalam regulasi.  Undang-undang, peraturan pemerintah,  peraturan presiden, peraturan menteri/badan, keputusan menteri, dan peraturan daerah harus selalu memberikan kemudahan kepada rakyat kecil. Kebijakan pembangunan harus diorientasikan untuk menjadikan rakyat kecil berdaya. 

Kemitraan pengusaha besar-UMKM yang setara harus difasilitasi dengan regulasi yang kuat. Modal murah harus bisa diakses UMKM secara mudah. Kewajiban sosial berupa corporate social responsibility (CSR) perusahaan besar harus dapat memberdayakan UMKM, baik melalui transfer pengetahuan dan teknologi, manajemen, maupun pasar. 

Penyebab lain adalah political capture yang kuat. Orang-orang kaya mampu memengaruhi kebijakan yang menguntungkan. Itu terlihat dari banyak  terungkapnya KKN antara pengusaha, eksekutif, dan legislatif seperti dalam kasus e-KTP, UU Minerba, impor daging, dan sebagainya. 

Omnibus Law UU Ketenagakerjaan, UU Kesehatan, dan sebagainya disebut-sebut banyak dipengaruhi para pengusaha. Yang lebih berorientasi pada keuntungan mereka daripada rakyat. 

Selain itu, yang tak kalah penting adalah orientasi pemerintah yang hanya pada pertumbuhan ekonomi. Trade off pertumbuhan adalah pemerataan. Orang-orang miskin berada pada sektor pertanian yang kontribusinya terhadap ekonomi (PDB) tidak terlalu besar. 

Pemerintah lebih mementingkan sektor yang memiliki kontribusi besar, industri  dan perdagangan. Pertumbuhan ekonomi pun hanya dinikmati ”kelas atas”.  

Pada negara berkembang seperti Indonesia, pembangunan harus lebih diorientasikan pada mengatasi kemiskinan. Itu berarti, fokus pemerintah semestinya kepada orang-orang miskin. Yang kebanyakan ada di perdesaan. Kalaupun pemerintah membangun industri dan perdagangan, harus pada sektor di mana orang miskin berada. Yaitu, sektor pertanian. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: