Melongok Pesarean Gunung Kawi; Bukan Tempat Pesugihan, tapi Minta Keberkahan

Melongok Pesarean Gunung Kawi; Bukan Tempat Pesugihan, tapi Minta Keberkahan

ALTAR DEWI KWAN IM di dalam kelenteng di kompleks Pesarean Gunung Kawi.-Kamal Fasya-Harian Disway-

Tak seperti yang dikenal masyarakat luas, Pesarean Gunung Kawi bukanlah tempat penggandaan uang atau pesugihan. Itu dipercaya sebagai tempat minta keberkahan kepada Tuhan. Juga berziarah ke makam tokoh karismastik Eyang Jugo dan Eyang Sujo.

 

 

Oleh: Muhammad Kamal Fasya

Mahasiswa Politeknik Negeri Malang

 

SORE itu, 14 Agustus 2023 udara dingin menyelimuti lereng selatan Gunung Kawi. Tepatnya di Desa Wonosari, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Malang. Beberapa merpati terlihat hinggap terbang lagi di pelataran kompleks pesarean (makam).

 

Seorang perempuan muda menghampiri kami. Namanya, Putri Wulandari. Dia adalah petugas dari Yayasan Ngesti Gondo.

 

Ya, Pesarean Gunung Kawi memang dikelola secara pribadi oleh keluarga ahli waris Raden Mas Soedjono atau Eyang Sujo melalui yayasan tersebut.

 

Dengan pakaian Jawa khas Yogyakarta, Putri memandu berkeliling kompleks. Kami langsung beranjak menuju destinasi utama. Tempat Eyang Jugo dan Eyang Sujo dikebumikan.

 

BACA JUGA : Makam Belanda di Surabaya Diusulkan Jadi Tempat Wisata

 

Di halaman makam terdapat pohon dewandaru yang dikelilingi pagar setinggi dua meter. Konon, yang bersemedi di bawah pohon dan kejatuhan salah satu bagian pohon akan mendapatkan kekayaan yang melimpah.

 

“Pohon itu ditanam sendiri oleh Eyang Sujo sekitar tahun 1870-an. Sebenarnya pohon ini memiliki makna, yakni, orang yang memiliki hajat harus sabar dan tekun,” terang Putri.

 

Dewandaru memang kental dalam terminologi Jawa. Sering juga disebut dalam kisah pewayangan. Tidak aneh jika pohon itu sarat mitos.   

 


Areal pelataran Pesarean Gunung Kawi, Kabupaten Malang.-Kamal Fasya-Harian Disway-

 

Sekitar pukul 16.00, kami memasuki areal makam. Bergantian menunggu dengan peziarah lain. “Di sini berdoa sesuai kepercayaan masing-masing, Mas,tutur Putri.

 

Peziarah memang berasal dari berbagai latar belakang: Tionghoa, Kejawen, dan Islam. Itu menjadi unik. Mereka bisa duduk berdampingan sembari berdoa sesuai tata cara masing-masing. Ada yang menyalakan hio mendoakan leluhur, sedangkan di sebelahnya melantunkan tahlil.

 

BACA JUGA : Nge-charge Semangat di Wisata Agro Wonosari Lawang dengan Menghirup Wangi Teh di Depan Hamparan Hijau

 

Makam Eyang Jugo dan Eyang Sujo  bersebelahan. Sebenarnya dimakamkan satu liang. Kedekatan mereka terbangun sejak sangat lama. Sejak Eyang Sujo menjadi murid Eyang Jugo. Hingga akhirnya, Eyang Sujo diangkat menjadi anak oleh sang guru.

 

Menurut kisah di masyarakat, dua orang itu adalah prajurit yang bertempur bersama Pangeran Diponegoro. Saat sang pangeran takluk oleh muslihat Belanda, Eyang Jugo dan Eyang Sujo lari ke arah timur. Hingga akhirnya babat alas, membuka hutan di lereng Gunung Kawi.

 

Setelah mendoakan pada embah tersebut, kami meminum air janjam. Air yang ditampung pada dua buah guci tanah liat kuno. Salah satu peninggalan Eyang.

 

“Berdoa dulu sebelum minum. Hadap kiblat,” ucap seorang lelaki berbaju khas abdi keraton.

 

Air itu sama dengan air kebanyakan. Tetapi, banyak yang percaya bahwa air tersebut berkhasiat.

 


BERBAJU KHAS JAWA, juru kunci makam ini bisa memandu para peziarah di kompleks Pesaeran Gunung Kawi.-Kamal Fasya-Harian Disway-

 

Sebagian peziarah terlihat menyantap tumpeng. Slametan nazar sebagai bentuk rasa syukur. Peziarah membeli tumpeng untuk dimakan bersama. Pengelola juga menyediakan berbagai bentuk slametan: tumpeng, sembako, sapi, hingga pergelaran wayang. Sifatnya mubah tidak ada paksaan harus membeli.

 

Turun ke bawah, terdapat bangunan berarsitek khas Tionghoa. Itulah Klenteng Dewi Kwan Im. Kepulan asap hio mengepul tegak ke atas. Patung Dewi Kwan Im berdiri kokoh di altar. Dewi dengan perwujudan perempuan anggun itu sangat dihormati masyarakat Tionghoa, khususnya pemeluk Buddha. Dewi tersebut dianggap sebagai perlambang cinta kasih.

 

Setelah puas mengambil foto, kami berpindah menuju bangunan di seberangnya. Di situ ada tulisan: Ciamsi. Kami disambut oleh juru kunci: pria Jawa lengkap dengan blankonnya. Akulturasi yang nyentrik. Bangunan Tionghoa dengan penjaga seorang Jawa tulen. Sholikin namanya.

 

Menurutnya, ciamsi berarti petuah atau petunjuk. “Caranya nanti ambil wadah ini sebelum digoyangkan berdoa dulu kepada Yang Maha Esa atas keinginan, rezeki, atau jodoh,” ucap Sholikin sembari mengulurkan wadah berisi batang-batang bambu.

 

Setelah memanjatkan keinginan, wadah berisi stik bambu dikocok hingga keluar stik. Tertulis angka 50. Sholikin memberi secarik kertas berisi syair dan buku tafsiran.

 


PENJELASAN Sholikin (kiri) kepada pengunjung yang baru saja melakukan ciamsi.-Kamal Fasya-Harian Disway-

 

Di buku tertulis,Ini waktu bakal banyak keluar uang. Kau diberkahi, periksalah dulu jangan gegabah, sebagai barang sebagai besi begitu tabah.”

 

“Apa pun kondisinya tetap sabar jangan sembrono mengambil keputusan,papar Sholikin.

 

Dulunya ciamsi merupakan teknik prediksi. Sering dijumpai di dalam klenteng. Namun pria yang hampir 17 tahun mengabdi di bagian ciamsi itu tidak membatasi siapa pun. ’’Sesuai dengan keyakinan masing-masing. Jawa, Islam, Tionghoa, bebas,” ungkapnya.

 

Corak kebudayaan Tionghoa di pesarean itu oleh Ta Kie Yam alias Mpek Yam yang datang pada 1932. Ia merasa bersyukur sehingga membangun kelenteng bersama teman-temannya dari Surabaya dan Singapura.

 

Mengabdi, nyaman, hingga akhirnya menetap, Mpek Yam dimakamkan di Wonosari, dekat komplek pesarean. Keberagaman menjadi magnet wisatawan. Khususnya perkawinan kultur Tionghoa dan Jawa. (*) 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: