Darurat Iklim Memanggil Pemimpin Berkecerdasan Ekologis (1): Menuju Green Leadership
Tanggal 23 Juli 2023 sebagai hari terpanas. July 2023 sees multiple global temperature records broken, Copernicus Climate Change Service, European Commission. --
Terdapat temuan yang sahih bahwa tren suhu bumi dikatakan menuju “global boiling” – “pendidihan global”. Begitulah diungkapkan oleh Sekretaris Jenderal PBB di New York pada 27 Juli 2023. Inilah kondisi bumi yang sangat merisaukan.
Mengikuti bahasa klasik M.G. Faure, J.C. Oudijk dan D. Schaffmeister (1994), bumi terpotret menjadi “zorgen van heden” (kekhawatiran masa kini). Pada situasi demikian itulah tampak dalam peribaratan Gaia, sang Dewi Bumi pada legenda Yunani sedang menangis.
Muram, karena komunitas bumi selaksa mengancam habitatnya sendiri. Kewajiban memelihara bumi berubah menjadi liyan yang setiap saat memproduksi bahan pencemar. Malapetaka iklim (climate catastrophies) sungguh disebabkan oleh ulah manusia.
Deskripsi iklimnya telah terang. Darurat iklim ini pun tidak boleh dibiarkan. Diperlukan langkah tindak bersama terhadap kondisi iklim dunia yang tengah memburuk.
Grafis berikut adalah bukti yang sangat informatif mengenai kondisi iklim bumi:
Perkembangan Suhu Global 1850–1900: World Meteorological Organization (WMO), State of Climate in 2021: Extreme events and major impacts, 31 Oktober 2021. --
Keadaannya seperasaan dengan novelis Maya Banks (2013) yang meneguhkan “no place to run” (tiada tempat bersembunyi) dari krisis iklim. Ini adalah realitas yang menjadi bagian dari krisis terbesar di planet bumi.
Terhadap hal ini saya teringat ungkapan James Goldsmit (1994) yang disampaikan dihadapan 2000 orang di Grand Amphitheatre Universitas Sorbonne, Paris.
Dijelaskan bahwa setiap masyarakat di dunia modern sedang menghadapi problem rumit dan tidak ada solusi yang sederhana dan universal.
Tetapi banyak di antara problem ini memiliki akar yang sama. Ilmu, teknologi, dan ekonomi telah diperlakukan oleh masyarakat modern ini sebagai tujuan itu sendiri. Bukannya sebagai sarana penting untuk meningkatkan kesejahteraan.
Dalam perkembangannya, fenomena darurat iklim ini sampai pada tataran merenungkan kembali keberadaan negara. Peran negara sehubungan dengan suhu bumi yang mendidih sekarang ini, mutlak diorganisir kembali.
Karena secara konstitusional telah diteguhkan bahwa: Negara Indonesia adalah negara hukum (Pasal 1 ayat (3) UUD 1945), maka krisis iklim diniscayakan membutuhkan regulasi yang bervisi ekologi.
Bumi Kian Mendidih
Kedaruratan iklim yang ditandai dengan bumi yang memuai (global boiling) bukanlah ilusi sains. Planet ini telah diterjang pemanasan global. Bentang kosmos dan bumi yang bergolak “kian panas” dari tahun ke tahun telah memantik kesadaran publik untuk memperbarui masa depan global. Iman Ghosh (2021) merekam perjalan waktu yang panjang temperatur bumi berikut ini:
Perkembangan Historis Temperatur Global: Iman Ghosh, Visualized: Historical Trends in Global Monthly Surface Temperatures (1851-2020). --
Riset ilmuwan dunia melansir keadaan bahwa bumi saat ini menjadi yang terpanas sejak 12.000 tahun terakhir (Samantha Bova dari Rutgers University, 2021).
Pada Juli 2023, suhu rata-rata global meraih rekor dan menjadi bulan terpanas sepanjang sejarah manusia. Rata-rata suhu permukaan selama 23 hari pertama Juli 2023 mencapai 16,95 derajat Celsius, jauh di atas catatan suhu terpanas global yang terjadi pada Juli 2019 yang sebesar 16,63 derajat Celsius.
Serupa dengan itu, rata-rata suhu laut di seluruh samudra mencatat rekor terpanas sejak April 2023. Kenaikan terpantau melejit pada pertengahan Mei 2023 dan mencapai rekor pada 19 Juli 2023 dengan suhu 20,94 derajat Celsius.
Implikasi dari kenaikan suhu yang signifikan tersebut adalah munculnya gelombang panas di Amerika, Asia dan Eropa, serta kebakaran hutan di banyak negara (Yoesep Budianto, 2023). Copernicus Climate Change Service dari Komisi Eropa melaporkan berikut ini (27 Juli 2023):
Para pemimpin di mana pun tingkatannya harus mengambil peran dalam kerangka pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Suatu literasi pembangunan yang menyodorkan tiga pilar keseimbangan: ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Kepala negara dan kepala daerah tentu memahami mengapa masyarakat global mengambil prakarsa menyatukan langkah melindungi eksosistem dengan menghadirkan green leadership? Masalah global warming dan climate change yang menuju global boiling (pendidihan global) tengah menyentakkan kesadaran mondial.
Terhelatnya kerusakan hutan, meluasnya lahan kritis, terjadinya konversi kawasan konservasi menjadi properti, meluasnya pencemaran, meningkatnya permukaan air laut, dan penyalahgunaan tata ruang, sesungguhnya sudah cukup untuk menyatakan bahwa dampak buruk tragedi ekologis ini membutuhkan solusi. (Oleh Suparto Wijoyo: Guru Besar Hukum Lingkungan Fakultas Hukum dan Wakil Direktur III Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: