Darurat Iklim Memanggil Pemimpin Berkecerdasan Ekologis (2): Kampanye Bertema Lingkungan

Darurat Iklim Memanggil Pemimpin Berkecerdasan Ekologis (2): Kampanye Bertema Lingkungan

Masalah lingkungan bisa menjadi inspirasi kampanye. Tinggal bagaimana mengolahnya sebagai janji dan komitmen yang bisa diwujudkan. --

HARIAN DISWAY - Saat ini ada momen menyelenggarakan pemilu. Penting untuk menyuarakan agenda pemilu yang berwawasan lingkungan. Ini kesempatan untuk menggaungkan pengembangan green legislation. 
 
Penyelamatan kekayaan alam nasional dari eksploitasi ekologis saatnya diakhiri. Pengerukan bahan tambang di banyak daerah yang melibatkan korporasi transnasional acap kali menyimpang jauh dari pesan Pasal 33 UUD 1945. 
 
Kita mesti memiliki pakta integritas lingkungan. Khalayak ramai harus dapat mengukur secara simplistik tentang kecerdasaan ekologis para pemimpinnya.
 
Pemilu saatnya disukseskan dengan tingkat kecerdasan yang komprehensif untuk mengatasi krisi iklim. Untuk itulah pemilu menjadi ajang menumbuhkan kecerdasan lingkungan, tidak hanya kecerdasan emosional dan intelektual. 
 
Psikolog sekaliber Daniel Goleman menawarkan ukuran tingkah laku seseorang yang memiliki ecological intelligence. Lingkungan menjadi variabel penentu dalam mengambil sikap.

BACA JUGA: Raih 14 Penghargaan Lingkungan Hidup, Motivasi Surabaya Menuju Kota 0 Sampah
 
Orientasi ekologis adalah cermin pembulat kecerdasan emosional dan spiritual. Orang yang memiliki kecerdasan lingkungan akan menempatkan diri pada lingkungan secara terintegrasi dengan sikap hidupnya. 
 
Kontestan yang tidak ramah lingkungan dapat mengguncang tatanan fungsi lingkungan. Menggelorakan ecological intelligence dalam pemilu sesungguhnya didasari oleh suatu kenyataan historis bahwa iklim bumi telah menjadi korban pragmatis pembangunan yang dijalankan pemimpin produk pemilu di seluruh dunia. 
 
Kemajuan yang dicanangkan dalam terminologi “pembangunan” acap kali menghancurkan lingkungan. Pada titik inilah, saya teringat perkataan cerdas Khalid Fazlun dari Islamic Foundation for Ecology and Environmental Science, England, UK. 
 
Ia mengungkapkan bahwa progess (kemajuan) telah menghasilkan pollution (pencemaran), dan pembangunan (development) identik dengan kerusakan (destruction). Singkatnya P (Progress) + P (Development) = P (Pollution) + D (Destruction).  
 
Itulah ancaman tragis yang menyelimuti komunitas dunia yang sedang melanda kehidupan bernegara. Hal ini harus diberi penyelesaian melalui kebijakan pemimpin yang mengerti arti sejati pembangunan yang memuliakan alam. 
 
Iklim bumi tidak boleh terkoyak atas nama “kemajuan” dan “pesta demokrasi”  sebagai bagian derap langkah pembangunan. Kemajuan yang naif tidak akan terjadi apabila pemilu diselenggarakan dalam gerakan menghadirkan pemimpin  yang ramah lingkungan.
 
Krisis Iklim sebagai Kampanye
Pemilu musti ditata dengan memperhatikan kepentingan generasi mendatang. Lahan dan ruang terbuka hijau jangan dialihfungsikan tanpa memperhitungkan kapasitas wilayahnya. Pemerintah dapat mengusung pembangunan sesuai dengan kebutuhan publiknya. 
 
Mengampanyekan gerakan sedekah oksigen, gerakan merawat bumi, petani anti-pestisida, dasawisma berkinerja lingkungan, dan Pos Kampanye Lingkungan di setiap RT, membangun hutan desa dan hutan kota seluas 30 persen setiap wilayah, adalah solusi nyata. Ini tentu saja butuh hukum yang memfasilitasinya.  
 
Sewajarnyalah kita membangun negara sebagai rumah kehidupan yang ramah lingkungan, dengan pemimpin yang memiliki kecerdasan lingkungan. Utamakan kepentingan bangsa ini dengan pembangunan nasional yang terpanggil mengatasi krisis iklim.
 
Penyelenggara pemilu sudah sepatutnya meneguhkan tema lingkungan khususnya krisis iklim dan polusi udara dalam debat kandidat. Pemilu adalah kosmologi politik untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat dan mekanisme memanen pemimpin yang berwawasan lingkungan.
Sewajarnyalah kita membangun negara sebagai rumah kehidupan yang ramah lingkungan dengan pemimpin yang memiliki kecerdasan lingkungan. --

 
Gagasan ini dicitakan sebagai vibrasi membangun kesadaran kolektif. Bahwa pemimpin bervisi ekologis akan berkontribusi menyediakan perangkat literatif dan praksis. Itu untuk mengatasi krisis iklim.
 
Misalnya dibuat regulasi energi baru terbarukan, kampanye menamam pohon, beralih ke energi terbarukan, mengurangi energi fosil, memperluas ruang terbuka hijau kota, dan menciptakan hutan desa 30 persen dari luas wilayah desa.
 
Juga, setiap rumah memiliki taman bunga dan pepohonan sesuai perhitungan statistik ekologis (satu orang tiga pohon), kantor pemerintahan dan kampus-kampus memanfaatkan energi surya dan memiliki RTH 30 persen dari luas lahannya).
 
Mungkin ini dinilai sebagai langkah terlalu kecil. Tetapi sebagaimana dikatakan Al Gore (2013), langkah ini pada pusarannya bolehlah “small changes” tapi memiliki “big impacts”. Ini merupakan sumbangsih untuk tatanan global dari titik lokal (think globally, act locally).
 
Kita yang berada di bumi ini dapat melakukan secara personal (apalagi kalau digerakkan oleh institusi pemerintahan) akan menjadi “penerang dunia”. 
 
Bukankah sejak tujuh abad lalu, Mpu Tantular dalam Kakawin Sutasoma (1389) telah menuliskan kisah inspirasi laku leluhur dengan pemerintahan yang menerangi dunia (lwir sang hyang Sasi rakwa purnna pangapus niran anuluhi rat). 
 
Ini menandakan bahwa siapa pun dan apa pun profesinya dapat menyodorkan prakarsa the new strategic possibilities and opportunities yang menyediakan skema mengatasi krisis iklim dari kebijakan pemimpin yang lahir dari produk pemilu. 
 
Kepedulian terhadap pengurangan emisi gas rumah kaca adalah cermin khalayak yang tahu sangkan paraning dumani. sehingga sedia memanggul kewajiban kepada bumi (planetary obligation).
 
Inilah makna terdalam kepedulian kita menerima mandat menghargai alam (nature appreciation principle) “sedasar hak asasi alamnya” (nature stewardship principle).
 
Selanjutnya, kehendak mengatasi krisis iklim dengan menggunakan energi terbarukan yang dijadikan tema kampanye pemilu 2024. Sebagaimana panggilan optimistis seperti dalam bait puisi sastrawan besar yang lahir di Jerman dan meninggal di Swiss, Hermann Hesse (1877-1962) dalam terjemah indah Agus R. Sarjono (2015): “… Des Lebens Ruf an uns wird niemals enden. Panggilan hidup tak kan pernah punah.
 
Akhirnya, harapan dan panggilan ini tetap perlu kerangka hukum yang ditaati.  Alexander Hamilton (1780) menyampaikan: “ketaatan orang-orang bebas pada hukum, betapa pun sulitnya mereka menanggung, sesungguhnya lebih sempurna daripada ketaatan para hamba pada kehendak sewenang-wenang sang pangeran”. 
 
Menaati hukum bagian esensial mengatasi krisis iklim global dari titik lokal. Maka, pemilu ada skema demokrasi menghadirkan pemimpin yang peduli atas krisis iklim. (Oleh Suparto Wijoyo: Guru Besar Hukum Lingkungan Fakultas Hukum dan Wakil Direktur III Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: