Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan, Siapa Lebih Teknokratis?
Ilustrasi Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
Ganjar ditanya bagaimana ia akan mengatasi birokratisasi desa yang sudah meresahkan. Sehingga menghilangkan demokrasi desa dan memutus inisiatif-inisiatif pembangunan masyarakat di perdesaan. Padahal, masyarakat kita terbesar hidup di desa.
Tantangan Arie itu sempat viral di medsos. Karena gaya bicaranya yang bak demonstran, meski ia kini sudah menyandang gelar guru besar dan menjabat sebagai wakil rektor bidang kemahasiswaan dan alumni UGM. Ia dengan gercep menimpali jawaban Ganjar yang bilang harus ada perubahan. ”Dengan cara apa?” tanyanya.
Setelah selesai dicecar guru besar itu, Ganjar menyampaikan bahwa perlu kembali memberikan trust alias kepercayaan kepada desa. Agar ada ruang inovatif dalam membangun masyarakatnya. Pemerintah hanya memberikan rambu-rambu dalam penggunaan dana desa.
Tapi, jawaban tersebut masih tampak di awang-awang. Bagaimana wujud memberikan trust kepada desa? Itu jawaban Ganjar yang tampak menunjukkan kompetensi teknokratisnya. Ia bilang perlu mengubah UU Desa yang ada sekarang.
Ia juga menyoroti ruang garap yang belum sesuai dengan substansi pembangunan desa antara Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Desa. Kebijakan tiga kementerian itulah yang membuat birokratisasi desa menjadi makin meresahkan. Mereviu ulang UU adalah salah satu pemecahannya.
Sebetulnya, antara Ganjar dan Anies ada kesamaan karier. Keduanya capres yang pernah menjabat gubernur. Ganjar menjadi gubernur Jateng, sedangkan Anies gubernur DKI Jakarta. Bedanya, Ganjar telah menjabat dua periode, sedangkan Anies baru satu periode.
Bedanya lagi, Ganjar menjadi anggota DPR RI sebelum menjadi gubernur, sedangkan Anies menjadi akademisi serta menteri pendidikan dan kebudayaan di Kabinet Kerja. Jejak langkah yang berbeda itu barangkali membuat Ganjar lebih tampak memiliki kemampuan teknokratis ketimbang Anies. Yakni, kemampuan untuk merumuskan persoalan dan mengolahnya menjadi kebijakan serta cara mengeksekusinya.
Seorang teknokrat tak hanya berhenti pada gagasan. Ia akan berusaha menjadikan gagasan sebagai sebuah program dengan memperhitungkan output dan outcome-nya. Gagasan yang menjadi kebijakan yang sudah dihitung hasil dan dampaknya. Tentu hasil dan dampak bagi publik.
Tentu saja, politikus yang biasa memproduksi gagasan tidak harus memiliki kompetensi teknokratis. Politikus bisa mempekerjakan para teknokrat andalan. Tapi, politikus yang sekaligus teknokratis akan lebih strategis dan taktis dalam memimpin dan gercep dalam melahirkan perubahan besar.
Karena itu, saat menyampaikan gagasan sebagai capres bersama Najwa Shihab di UGM, Probowo Subianto berkali-kali menyebut puluhan profesor yang telah membantunya. Ia ingin menunjukkan bahwa gagasan yang disampaikan telah diolah para teknokrat yang telah mendukungnya.
Yang pasti, kini tak ada lagi capres yang bisa mengeklaim diri sebagai yang paling kaya gagasan. Tinggal bangsa ini akan memilih capres yang kaya gagasan sekaligus kepiawaian dalam mengeksekusi gagasan dalam bentuk kebijakan teknokratis atau lebih banyak hanya berhenti kepada gagasan semata.
Yang penting, ayo jalani pilpres ini dengan happy. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: