Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan, Siapa Lebih Teknokratis?

Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan, Siapa Lebih Teknokratis?

Ilustrasi Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

BARU setelah berakhir masa jabatan gubernur Jateng, Ganjar Pranowo tampak lepas dalam menyampaikan berbagai gagasan. Tentu gagasan sebagai calon presiden RI.

Ganjar memang pernah dianggap miskin gagasan. Itu dulu. Saat belum diputuskan PDI Perjuangan untuk diusung sebagai capres. Juga, sampai jabatannya sebagai gubernur Jateng berakhir.

Anies dianggap kaya gagasan. Bahkan, ia berkali-kali mengajukan gagasan sebagai keunggulan untuk memimpin masa depan. Gagasan dan rekam jejak. Demikian yang ia selalu ungkapkan dalam berbagai kesempatan.

Kebetulan, kedua capres yang masing-masing sudah resmi diusung partai itu sama-sama alumnus Universitas Gadjah Mada (UGM). Perguruan tinggi terbesar di Indonesia yang banyak melahirkan pemimpin di negeri ini. Presiden Jokowi lulusan kampus itu. Demikian juga mantan Wapres Boediono.

Sebagai salah satu perguruan tinggi tertua, kualitas akademik para mahasiswanya telah dikenal di seantero dunia. Sampai kemudian ada anekdot yang melekat pada para alumnusnya. ”Ra patio pinter ning Kagama (Meski tak terlalu pandai, tapi keluarga alumni UGM).”

Maka, tuntutan bahwa lulusan kampus itu harus kaya gagasan adalah hal biasa. Bukan sekadar ketika mereka mencalonkan diri sebagai pemimpin di negeri ini. Melainkan, sebagai sebuah predikat yang harus melekat kepada para mahasiswa UGM dan para alumnusnya. 

Tapi, apakah betul Ganjar miskin gagasan? Tampaknya ini soal waktu. Ia secara sengaja tidak mengumbar gagasan-gagasannya jika memimpin Indonesia saat belum secara resmi diusung partai sebagai capres. Ini soal etika berpolitik.

Demikian juga ketika belum berakhir masa jabatannya sebagai gubernur Jateng. Ia tampak mengendalikan diri untuk tak mengumbar dalam menyampaikan gagasan-gagasannya kelak ketika terpilih sebagai presiden. Ia lebih banyak menyampaikan kinerjanya sebagai gubernur Jateng.

Baru setelah semua itu berlalu, Ganjar mulai menyampaikan gagasan-gagasannya tentang Indonesia. Tentu menyampaikan gagasan yang kontekstual bagi persoalan kekinian. Ia tak hanya menyampaikan ide, tapi juga implementasinya.

Misalnya, ketika menjawab isu banyaknya tenaga kerja asal Tiongkok. Ganjar tak ingin melihat hal itu sebagai hilangnya peluang kerja bagi warga kita. Tapi, juga harus dilihat sebagai proses alih teknologi. ”Kita usir saja. Tapi, kamu bisa gantikan nggak?” katanya. 

Ia mengemukakan hal itu di depan mahasiswa UI. Saat ia diundang menyampaikan gagasannya beberapa waktu lalu. Jawaban tersebut mengandung makna bahwa kita perlu menyiapkan SDM kita dengan baik. Sehingga tidak perlu mendatangkan SDM dari negeri lain untuk memajukan bangsa ini.

Persoalan itu muncul menanggapi pertanyaan mahasiswa. Sebelumnya, ia memaparkan berbagai gagasan dalam mencapai Indonesia Emas 2045. Ia mengemukakan tujuh stratagi yang berangkat dari tiga fondasi. Ketiganya adalah melipatgandakan anggaran, digitalisasi pemerintahan, dan basmi korupsi.

Tiga fondasi itu menjadi landasan untuk tujuh strategi yang digagasnya. Yakni, membangun SDM produktif, stabilisasi harga bahan pokok, hapus kemiskinan, perkuat jaring pengaman sosial, hilirisasi menuju industri kelas dunia, tingkatkan nilai tambah infrastruktur, dan kembalikan alam Indonesia. 

Yang menarik ketika ia dapat tantangan dari guru besar UGM. Arie Sujito, namanya. Yang sama-sama pernah bersama ikut merumuskan UU Desa. Saat Ganjar sebagai anggota DPR RI. Dan, Arie sebagai ahli yang tergabung dalam tim yang ikut merumuskan UU tersebut.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: