Pesan Tersirat di Balik Gaung Melawan Serakahnomics

ILUSTRASI Pesan Tersirat di Balik Gaung Melawan Serakahnomics.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
DI tengah ingar bingarnya dinamika di panggung politik, kini muncul istilah baru yang menjadi argumen pelabelan akan tingginya syahwat penguasaan ekonomi, yakni ”serakahnomics”. Pelabelan atau stigma itu sempat disinggung dua kali oleh Presiden Prabowo Subianto pada kesempatan berbeda.
Pertama, pada acara penutupan Kongres PSI 2025 di Kota Surakarta. Kedua, pada perayaan Hari Lahir Ke-27 PKB di Jakarta Convention Center, Senayan, Jakarta, 23 Juli 2025.
Di forum politik, istilah serakahnomics menyiratkan sebuah akumulasi kegusaran yang mencapai titik kulminasi. Siapa yang tidak geram menyaksikan kekayaan alam Indonesia yang melimpah justru menjadi ajang bancakan segelintir elite?
BACA JUGA:Serakahnomics
BACA JUGA:Prabowo Sebut Serakahnomics di Skandal Beras Oplosan
Tak pelak, istilah serakahnomics cukup merepresentasikan emosi kolektif bangsa terhadap perilaku culas para pelaku kejahatan korporasi yang sangat destruktif.
Munculnya istilah tersebut dilatarbelakangi keprihatinan Prabowo setelah menyoroti aksi nafsu serakah sejumlah oknum yang ”bermain” dalam tata kelola industri pangan nasional.
Pada pidato di acara penutupan kongres PSI, Prabowo sempat melontarkan kalimat yang bernada geram bahwa perilaku serakah yang sedemikian pada kasus beras oplosan menimbulkan kerugian negara Rp 100 triliun.
BACA JUGA:Ramadan: Bebas dari Keserakahan
BACA JUGA:Keserakahan Perbankan
Praktik-praktik serakahnomics dalam mengeruk duit negara juga terjadi pada skandal oplosan BBM pertamax dengan oktan yang lebih rendah, seperti premium (RON 88) dan pertalite (RON 90).
Kejahatan kerah putih yang melibatkan oknum para petinggi korporasi negara PT Pertamina Patra Niaga diperkirakan merugikan negara hingga Rp 968,5 triliun, bahkan bisa lebih, yang berlangsung selama 2018–2023.
Terlebih, terdapat kerugian yang lebih besar daripada kerugian yang bersifat finansial dan sulit untuk dipulihkan dalam jangka waktu pendek, yakni hancurnya kepercayaan konsumen terhadap institusi Pertamina dan makin menurunkan rating kepercayaan para investor luar negeri di sektor energi.
Pada gilirannya, itu akan menghambat masuknya aliran FDI (foreign direct investment) yang menopang program pemerintah ke arah kemandirian energi baru dan terbarukan dalam jangka panjang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: