Jangan Ambil Bumi Berlebihan, Pesan Miki Agus Prasetyo dalam Pameran Tunggal In The Name of Earth
Dua pengunjung pameran berupaya memahami cara Miki Agus Prasetyo dalam menyajikan masalah lingkungan yang membuatnya gelisah salah satunya terpajang di sebelah paling kiri berjudul Transisi. -Ahmad Rijaluddin-
HARIAN DISWAY - Saat memasuki pintu Galeri DKS Surabaya, mata pengunjung akan langsung tertuju pada lukisan bermedia kain yang menjuntai panjang ke bawah. Itulah salah satu karya Miki Agus Prasetyo dalam In The Name of Earth.
Bukan spanduk. Tapi karya itu adalah lukisan yang dibuat dengan teknik batik oleh Miki. Bernilai seni. Judulnya Di Mana Ku Berpijak. Karya terbaru Miki yang dibuat satu bulan lalu sebelum pameran.
Diakuinya, itulah karya terumit yang pernah ia buat. Pertama karena ukurannya. Kedua, karena menggunakan teknik celup dan colet. Apalagi maknanya. Kompleks.
Beberapa maksud ingin ia sampaikan tentang daratan dan lautan. Sampah plastik di laut. Termiris ya soal habitat gajah dan harimau Sumatera. Kelangsungannya terganggu karena ekosistemnya ditebas dan diratakan menjadi lahan gambut. Untuk bisnis kelapa sawit.
Miki Agus Prasetyo melihat lukisan berjudul b.a.s.i, salah satu dari 20 karyanya yang dipajang dalam pameran tunggal In The Name of Earth di Galeri DKS Surabaya. -Ahmad Rijaluddin-
Karya Miki dalam pameran tunggal pertamanya pada 24-29 September 2023, di Galeri DKS, Surabaya, itu ada bersama 19 karyanya yang lain. Rata-rata menyinggung fenomena alam yang pernah ia lihat.
Tak hanya yang terjadi di Surabaya, kota kelahirannya. Tapi dari berbagai tempat yang punya nasib sama soal lingkungan. Di antaranya di Rembang, Kendal, Jakarta, di Pulau Sulawesi, Bali, Sumatera, hingga Kalimantan. Semua memberi inspirasi untuk menghasilkan karya bertajuk lingkungan.
Dalam berkarya, Miki memang lebih mudah mengabadikan peristiwa yang ia saksikan sendiri. “Saya kurang bisa kalau berimajinasi liar. Bisanya dari apa yang pernah saya lihat,” terang pelukis yang juga pegiat lingkungan ini.
Sesuai tema, Miki ingin memakna hal-hal yang menyentuh bagi semua orang. Terutama para pecinta lingkungan. Karena itu Miki bicara tentang kalutnya dia yang merasakan perubahan iklim di Indonesia yang tidak luput dari ulah manusia.
Dua pengunjung menikmati lukisan berjudul Sebelum Kau Datang dan Sesudah Kau Datang yang ergambar burung rangkong, endemi Sulawesi yang mulai punah. -Ahmad Rijaluddin-
Ia memberikan kesan alam dan habitatnya sebelum dan sesudah terpapar manusia. Seperti dalam Sebelum Kau Datang dan Sesudah Kau Datang. Bergambar burung rangkong, endemi Sulawesi yang mulai punah.
“’Kau’ di sini merujuk pada tangan-tangan yang serakah. Masyarakat lokalnya mengambil isi hutan untuk pemenuhan hidup harian mereka, sampai si burung ini kehilangan tempat untuk bernaung,” paparnya.
BACA JUGA: Festival Seni Balai Pemuda 2023 Ajak Pengunjung Membeli Lukisan 200 Ribuan
Pada lukisan “sebelum” ada yang bernuansa biru dan hijau. Tentang ekosistem alam yang rindang dan sejuk. Berbeda dengan lukisan “sesudah”, ia menunjukkan burung yang sama. Tapi dengan nuansa oren. Pohon tertebang dan air tercemar.
Ada lagi Transisi. Pesan yang ingin disampaikan pun sama. Menyinggung perubahan alam yang diakibatkan manusia. Terlihat pria duduk dengan beberapa tumpukan sampah plastik di sekitar kakinya.
Terdapat semacam garis pemisah vertikal menyamping yang membagi lukisan tersebut menjadi dua sisi. Seperti robekan kertas. Sisi kanan menunjukkan alam yang masih utuh. Di sisi kirinya menunjukkan perubahan gersang dan udara yang tercemar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: