Dies Etis

Dies Etis

Ilustrasi Ganjar Pranowo.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

RAPAT KERJA Nasional Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada tahun ini berlangsung tanpa dihadiri ketua umum. Kebetulan organisiasi para alumnus perguruan tinggi di Yogyakarta itu dipimpin Ganjar Pranowo, salah seoang calon presiden 2024.

Ia bertarung dengan dua calon presiden lainnya. Yakni, Anies Rasyid Baswedan yang sama-sama satu almamater dengan Ganjar. Lainnya adalah Prabowo Subianto yang dikenal sebagai mantan jenderal lulusan Akademi Militer Magelang (AMM).

Pilpres 2024 ini istimewa bagi UGM yang hari ini berusia 75 tahun. Empat di antara enam kandidat capres dan cawapres adalah alumnus UGM. Selain Ganjar dan Anies yang menjadi capres, ada Mahfud MD dan A. Muhaimin Iskandar sebagai cawapres. Kecuali Mahfud yang paling senior, ketiganya hampir seangkatan ketika menjadi mahasiswa di kampus kerakyatan tersebut.

BACA JUGA: Sidang Universitas Airlangga dalam Rangka Dies Natalis Ke-69: Belajar dari Teladan Carina Joe, Penemu Vaksin AstraZeneca

Karena itu, ada meme yang sempat viral yang menyebutkan Pilpres 2024 adalah pertarungan antara dua eks mahasiswa UGM melawan satu eks mahasiswa Akmil. Bahkan, ada yang menyebut bahwa pilpres kali ini seperti pemilu Senat Mahasiswa dan BEM UGM. Sebab, di belakang Prabowo-Gibran ada eks mahasiswa UGM juga: Joko Widodo.

Ada pertanyaan, bagaimana kampus yang berdiri di atas lahan hibah Raja Yogyakarta Hamengkubuwono IX itu bisa melahirkan banyak calon pemimpin nasional? Seberapa jauh peran perguruan tinggi itu dalam mencetak kader-kader bangsa yang tampil dalam kancah nasional? Apakah ini kesengajaan atau kecelakaan?

Bahwa UGM secara sengaja ingin mencetak para calon presiden pasti tidak. Karena perguruan tinggi bukan tempat menggembleng kader-kader politik. Partai politik yang semestinya menjadi tempat menempa calon pemimpin politik. Perguruan tinggi hanya mengajarkan ilmu pengetahuan dan ikut membentuk karakter seseorang.

BACA JUGA: Rayakan Dies Natalis ke-59 dan Hari Pahlawan, Stikosa AWS Kenang Tiga Tokoh Pers Nasional

Karena itu, perguruan tinggi selalu bebas dari jagat politik. Meski bukan berarti imun atau kebal dari percaturan politik. Perguruan tinggi pada dasarnya memproduksi pemikiran. Melahirkan banyak paradigma, teori, dan konsep. Semua itulah yang kemudian mengejawantah dalam realitas sosial melalui kebijakan lewat politisi. 

Tapi, tidak bisa diingkari, banyak perguruan tinggi di luar negeri yang dikenal menghasilkan banyak pemimpin politik. Misalnya, University of Oxford di Inggris. Perguruan tinggi tua iti dikenal sebagai produsen perdana menteri Inggris. Raja Jordania Abdullah juga lulusan sana.

Alumnus Oxford juga dikenal loyal kepada almamaternya. Banyak kontribusi yang diberikan mereka kepada perguruan tinggi yang pernah mendidiknya. Sebulan lalu, saat berkunjung ke Universitas of Oxford, saya ditunjukkan taman kampus yang dibangun Raja Abdullah. 

BACA JUGA: Tumpeng Maut Reborn oleh Cak Lontong dan Kartolo Cs Bikin Dies Natalies ke-63 ITS Penuh Gelak Tawa

Ada dua hal yang bisa diduga tentang perguruan tinggi gudang calon pemimpin. Mereka mempunyai aliran pemikiran yang khas dan menonjol. Juga, mempunyai pemihakan yang tinggi kepada persoalan di lingkungannya. Peduli terhadap problem masyarakat. Kedua, komitmen dalam menjaga tradisi dan etik. Baik etika akademik dan kemasyarakatan.

UGM dikenal sebagai kampus yang terus berusaha konsisten dalam dua hal tersebut. Ketika ekonomi Indonesia cenderung pada arus utama liberalisme-kapitalisme, kampus itu mengenalkan konsep dan teori ekonomi Pancasila. Dengan Prof Dr Mubyarto sebagai pelopornya. Juga, punya perhatian besar terhadap pembangunan desa. Bahkan, sempat mendapat julukan Kampus Ndeso. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: