Mengajak Capres-cawapres Meng-isramikraj-kan Kebijakan

Mengajak Capres-cawapres Meng-isramikraj-kan Kebijakan

Inilah peringatan yang menjadi jalan teduh di saat bangsa ini kian dipanasi tensinya oleh tahapan pilpres 2024. -Pexels-

Selubung Isra dan Mikraj harus dibuka blak agar kita dapat merasakan keluasan dan kehangatan dekapan Allah SWT bersama Kanjeng Nabi Muhammad SAW secara hening.

Perintah salat yang diberikan dengan perjalanan lintas dimensi yang dilakukan Gusti Kanjeng Nabi Muhammad SAW merupakan bukti nyata betapa kuasanya Tuhan untuk mengonstruksi suatu kenyataan yang seolah-olah dilakukan tidak konstruktif.

Langkah Mahakuasa dan desakan paradigmatik perintah salat mengapa harus melalui panggung Isra Mikraj? Hal ini tentu bukan tanpa skenario dan alur cerita yang sudah disiapkan oleh ”Maha Sutradara Kehidupan”.

Ini menandakan bahwa dalam kehidupan kita perlu melakukan lompatan-lompatan mendasar untuk sampai pada tataran  yang dapat mengguncang kadar keimanan secara personal. 

Kalaulah kita sedang berkuasa misalnya dalam kehayatan partai atau state misalnya, terasa penting untuk melakukan ”gerilya ide” dengan menyematkan kebijakan yang ”sedikit menggegerkan” warganya. Tapi maslahat bagi warga negara, bukan sekadar keluarga besarnya.

Namun, yakini bahwa kebijakan yang Anda buat itu memang untuk kemaslahatan umat dan bukan untuk menggoda jiwa-jiwa umat agar terkoyak dan teraihlah kekuasaan. 

Para capres yang hendak menjemput takdir menjadi pemimpin negeri ini diniscayakan berani melakukan ”isra dan mikraj” kebijakan secara drastis yang mampu menggedor kadar kepercayaan rakyat.

BACA JUGA: Menjemput Cahaya Kepemimpinan

Kalaulah berani silakan penguasa sekarang ini membuat ”isra’ mikraj” tatanan perkotaan yang memberi kesempatan kepada ”anak negeri” untuk tumbuh lebih besar dengan pengenaan pajak yang lebih kecil dari ”si pendatang”.

Warga asli misalnya kena pajak 10 persen dalam setiap transaksinya sementara ”si penumpang” dikenakan 30 persen. Toh ini diambil sebagai bentuk sikap nyata membangun keseimbangan kehidupan yang adil. Reklame kecil dan besar dibedakan beban pajaknya jua.

Atau kalau orang dalam penghasilan sebulan sejuta pengenaan pajaknya berbeda dengan yang berpenghasilan di atas sejuta. Mereka dikenai perhitungan mulai pajak makanan sampai hiburan dan perhotelan secara progresif. 

Apabila mau melakukan terobosan pajak sesuai dengan jumlah tabungan juga boleh itu. Mereka yang tabungannya milyaran akan dikenakan pajak makanan lebih dari mereka yang tabungannya cuma ratusan ribu. Banyak cara dapat diambil dan ditempuh untuk menciptakan kehidupan bernegara yang lebih egaliter dan berkeadilan.

Kepemilikan lahan juga waktunya “diisramikrajkan” dengan melakukan distribusi penguasaan yang berkeadaban. Ber-isra berarti kebijakan kepemilikan lahan itu dibagi secara proporsional sesama warga negara dengan bijak. Lahan negara ini dipetakan kepemilikannya dengan skema yang “semua rakyat memiliki hak milik atas tanah”.

Lantas dimikrajkan dengan pemberian sertifikat kepemilikan dengan menyebut nama Tuhan. Tuhan pasti mengajarkan nilai-nilai keadilan. Janganlah lahan Republik ini dikuasai atas nama rezim hukum konsesi dengan mengabaikan makna “kemanusiaan yang adil dan beradab” serta “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Lahan bukan untuk sebagian rakyat Indonesia yang bermodal dan mengatasnamakan investasi. 

Di sinilah negara datang menghampiri rakyat untuk melayaninya dengan mandat Pancasila. Beranikah para capres menempuhnya? Kalau tidak, memang Isra dan Mikraj hanyalah dipahami sebagai ”ritual legenda” dan kisah-kisah keagamaan semata, bukan cita-cita menata kehidupan bernegara yang lebih baik di masa depan?

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: