Carok dan Pergeseran Nilai di Madura (6): Bagaimana Perilaku Mulia Blater?

Carok dan Pergeseran Nilai di Madura (6): Bagaimana Perilaku Mulia Blater?

Berbincang tentang carok dan blater bersama Agung Wicaksono (kiri), Lestari Puji Rahayu (tengah), dan Mulat Nur Setyanto (kanan) di Rumah Batik Peri Kecil, Burneh, Bangkalan. -Julian Romadhon-HARIAN DISWAY

HARIAN DISWAY - Dalam dunia carok dikenal sosok blater. Sebagai mediator, juru bicara, ahli beladiri, sekaligus tokoh masyarakat panutan. Namun, carok telah mengalami pergeseran nilai. Begitu pun dengan blater. Masih adakah sosok blater asli di Madura saat ini?

Carok sebagai ajang pertaruhan harga diri melibatkan ulama dan blater. Kedua tokoh itu sangat penting dalam menjembatani kedua pihak yang bertikai. Memediasi melalui kiprahnya sebagai juru bicara, mengimbau dan mencegah agar sebisa mungkin carok tidak terjadi.

Di bawah ulama, blater adalah tokoh yang dihormati oleh masyarakat Madura. Budayawan Hidrochin Sabarudin menyebut bahwa dalam kultur Madura, dua tokoh itu memegang peranan. "Ulama atau kiai memegang aspek relijiusitas dalam sosial-masyarakat. Sedangkan blater, pemegang norma sosialnya," ujar pria yang akrab disapa Abah Doink itu.

Ia berbicara panjang-lebar tentang tradisi carok di Rumah Batik Peri Kecil, di Burneh, Bangkalan, Madura. Ditemani empunya rumah, pasangan suami-istri Mulat Nur Setyanto dan Lestari Puji Rahayu (Yayuk). Hadir pula tokoh muda Bangkalan dari Komunitas Gak Cuma Jalan. Yakni Agung Wicaksono.

Sebagai perempuan yang lahir dan besar di Madura, Yayuk mengenang kesan pertemuannya dengan para blater masa lalu. "Mereka adalah sosok yang lembut. Bicara tak pernah keras dan mampu mengayomi siapa saja. Dalam struktur sosial masyarakat Madura, blater begitu dihormati," ungkapnya.

Seseorang mampu mendapat predikat blater karena sikap welas asihnya. Selain itu, ia memiliki kemampuan bela diri dan mampu mengayomi, melayani sesama. Bahkan mampu jadi juru damai. Status sosial itu didapatkan dari masyarakat, atas perannya yang aktif. Bukan atas dasar jagoan atau sebagai jawara semata.

"Kalau pun jawara, tidak petentang-petenteng. Sikap sombong tidak ada sama sekali. Mereka mendapat pengakuan dari masyarakat. Bukan mencari pengakuan," ujar perempuan 48 tahun itu. "Jika ada yang mengaku blater tapi sok jagoan itu namanya blater KW (tak asli, Red)," sahut Abah Doink.

Di tempat lain, Harian Disway mengorek keterangan tentang blater pada Ahmad Faishal. Ia merupakan dosen Teater Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW), Surabaya. Faishal ditemui saat membuka pameran lukisan bertajuk Umbar Are, di Balai Pemuda Surabaya pada 17 Februari 2024. 
Pelukis Syamdhuro (kiri) dan Ahmad Faishal, dosen STKW (kanan), berbicara membahas carok dan sosok blater. -Guruh Dimas Nugraha-

Saat itu ia ditemani rekan pelukis sekaligus tetangganya di Tanah Merah, Bangkalan, Madura. Yakni perupa Syamdhuro. Akademisi alumni Universitas Airlangga itu menyebut bahwa blater setidaknya memiliki dua perilaku mulia. "Pertama, tengka. Artinya akhlak atau perilaku terpuji. Kedua, etika. Blater pasti andhap asor. Orangnya sopan dan berwibawa," ujarnya.

"Maka blater itu status sosial yang didapatkan karena perilaku-perilaku etiknya. Juga kiprahnya dalam ruang-ruang masyarakat. Selain itu, blater tahu betul tentang ilmu agama," ungkapnya. Sebagian besar blater adalah mereka yang pernah mengenyam pendidikan pondok pesantren. Jika pun tidak, mereka memiliki wawasan agama yang mumpuni. Entah pernah belajar bersama kiai tertentu atau mendalami spirit-spirit sufistik.

"Di mana pun mereka berada, blater yang sesungguhnya pasti mengisi kesehariannya dengan berzikir. Entah saat mereka ada di lingkungan yang buruk dan semacamnya. Serta mereka mampu menjadi cahaya di tengah-tengah mereka," terang pria 42 tahun itu.

Kini, blater telah mengalami pergeseran nilai. Menurut Faishal, memang saat ini terdapat orang-orang yang ditokohkan sebagai blater. Namun, yang memahami nilai-nilai asli atau nilai kultural blater silam, sangat sedikit. "Tetap dihormati sebagai blater. Tapi esensi nilai-nilai keblaterannya sudah berkurang. Tidak seperti dulu," katanya. 

Dulu, sebagai orang yang diberi predikat blater, orang itu memiliki kuasa atas masyarakat. Tapi ia tak mempergunakannya dengan sewenang-wenang. Kuasa itu justru digunakan untuk mempersatukan.

Sekarang, banyak orang yang disebut blater justru menghendaki kekuasaan. "Malah sekarang ada yang dibilang blater tapi nyaleg (mencalonkan diri sebagai caleg, Red)," ujar ayah tiga anak itu, lantas tertawa. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: