Carok dan Pergeseran Nilai di Madura (14): Hanya Tokar, Bukan Carok

Carok dan Pergeseran Nilai di Madura (14): Hanya Tokar, Bukan Carok

Budayawan Madura Hidrochin Sabarudin berharap adanya pendidikan budi pekerti dan meningkatkan pendidikan akhlak pada generasi muda. Supaya kultur kekerasan benar-benar hilang di Madura. --

HARIAN DISWAY - Jika berbicara tentang Madura, pikiran seseorang pasti tertuju pada karakter masyarakatnya. Tegas, keras, dan pantang menyerah. Ada yang menganggap identik dengan kekerasan. Terutama soal carok. Ada sejarah panjang tentang tradisi itu. Terutama soal pergeseran nilainya.

Budayawan Madura Hidrochin Sabarudin (Abah Doink) masih ingat betul. Pada era awal ‘80an, tingkat kriminalitas di Madura cukup tinggi. Kekerasan hampir terjadi setiap minggu. Termasuk duel yang disebut carok. Saat itu, nilai tradisi carok telah sedemikian bergeser.

Asal menggunakan celurit atau senjata tajam, itu disebut carok. Tak peduli berapa pun lawannya juga disebut carok. Padahal carok sejatinya merupakan upaya mempertahankan harga diri dan kehormatan. Bukan sekadar tawuran atau pelampiasan amarah.

“Kemudian pada tahun 1986, ketika saya masih berdinas sebagai ASN di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Bangkalan, saat itu seorang polisi datang ke kantor. Namanya Pak Mudowi,” kenangnya. Polisi itu bertemu dengan Kepala Seksi Kebudayaan Bangkalan M Sarifuddin.

BACA JUGA: Carok dan Pergeseran Nilai di Madura (12): Celurit Simbol Tulang Rusuk

Perbincangan mereka tentang pentingnya penanaman nilai budaya dan pendidikan bagi generasi muda Madura. Untuk membentuk mereka menjadi pribadi yang cinta damai, welas asih dan andhap asor. 

Tak lama setelah pertemuan itu, Kepolisian wilayah Madura di berbagai daerah mengeluarkan imbauan kepada masyarakat. Mereka meminta agar carok dihentikan. Pihak kepolisian mengingatkan pula bahwa hal itu merupakan perbuatan melanggar hukum.

Tujuan dari imbauan itu agar masyarakat Madura yang gemar melakukan tindakan kekerasan menjadi sadar hukum. Apalagi polisi telah mengancam bahwa siapa saja yang melakukan carok akan dibuang ke Pulau Nusa Kambangan.

Tak lama berselang, dikirimlah guru-guru dari Jawa. Mereka mengajar di sekolah-sekolah Inpres. Sebenarnya, sekolah Inpres di Madura telah ada sejak ‘70an. Namun, pada era ‘80an, pembangunannya semakin gencar. Guru-guru yang didatangkan dari Jawa semakin banyak.

Kultur Madura sangat lekat dengan nilai-nilai Islami. Penduduk setempat menghormati mereka yang datang dari Jawa. Sebagai tamu. Dalam Islam, seorang tamu wajib dihormati. Apalagi mereka adalah guru yang akan memberi pendidikan bagi anak-anak setempat.

“Keberadaan para guru dari Jawa itu sangat dihargai. Bahkan mereka sering dikawal. Dampaknya, masyarakat jadi malu untuk melakukan tindak kekerasan,” ungkap pria 64 tahun itu. Saat itu, tindak kriminalitas di Madura menurun drastis. Apa yang mereka sebut carok pun mulai jarang terjadi.

Namun, memasuki era ‘90an, tingkat kriminalitas meningkat lagi. Sebab, para pengajar itu sudah dianggap sebagai warga lokal. Bagian dari mereka. Kejadian paling menyita perhatian sekaligus keprihatinan adalah pada 2006.

Seperti disampaikan penyair KH D Zawawi Imron. Pada tahun itu terjadi carok massal di Pamekasan. Korban tewas sebanyak tujuh orang dan belasan lainnya luka berat. 

Hingga yang terakhir, terjadi pada 12 Januari 2024 di Bangkalan. Korban tewas sejumlah empat orang. Berkaca dari hal tersebut, Abah Doink menekankan pentingnya pendidikan budi pekerti bagi generasi muda di Madura.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: