Carok dan Pergeseran Nilai di Madura (14): Hanya Tokar, Bukan Carok
Budayawan Madura Hidrochin Sabarudin berharap adanya pendidikan budi pekerti dan meningkatkan pendidikan akhlak pada generasi muda. Supaya kultur kekerasan benar-benar hilang di Madura. --
“Bangkitkan lagi pelajaran budi pekerti. Untuk pendidikan pesantren, ilmu akhlak harus ditanamkan lebih banyak lagi. Figur ulama harus turun langsung untuk memberi upaya penyadaran,” ujarnya.
Ulama atau kiai dalam realitas sosial-budaya Madura adalah figur panutan. Selain itu, ulama memiliki legitimasi kultural sebagai pusat solidaritas. “Setelah itu dalam komunitas terkecil bangsa. Yakni keluarga. Keluarga adalah elemen penting dalam proses sosialisasi dan internalisasi nilai sosial-budaya. Termasuk penerapan budi pekerti dan welas asih,” ungkapnya.
Mengacu pada sejarah, Huub de Jonge, sejarawan, menulis bahwa pada awal abad ke-19, pemerintah kolonial Belanda membentuk pemerintahan langsung di Jawa. Namun, di Madura, pihak kolonial tetap mempertahankan pemerintahan kerajaan setempat.
Justru pemerintahan lokal itu menyebabkan Madura terisolasi dari bidang kemasyarakatan. Feodalisme dengan segala aspeknya berkembang. Hukum kurang ditegakkan. Sehingga angka kriminalitas meningkat pesat. Pun, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah sebagai penegak hukum menjadi sangat minim.
Namun, pada pertengahan abad 19, kolonial mengambil kekuasaan penuh atas Madura. Kepastian hukum mulai dirasakan dan tingkat kriminalitas saat itu berkurang. Meski De Jonge mencatat bahwa angka tindak kejahatan saat itu lebih tinggi daripada daerah-daerah dalam kekuasaan Hindia Belanda lainnya.
Tidak diketahui secara pasti sejak kapan pembelokan makna carok terjadi. Namun, berkaca lewat sejarah dan peristiwa-peristiwa yang mengiringinya, maka penyelesaian untuk tindak kekerasan membutuhkan kehadiran negara.
“Kekerasan bisa ditangani dengan baik, asalkan penegakan hukum berjalan adil dan maksimal. Negara harus hadir untuk penyelesaian masalah yang mengedepankan dialog. Bukan kekerasan,” ungkapnya. Karena dengan upaya tersebut, Abah Doink yakin bahwa perlahan tapi pasti, masyarakat Madura akan lebih mempercayai hukum positif.
“Sekarang saja sudah mulai terlihat, kok. Ke depan harus lebih ditekankan lagi. Semua pihak harus terlibat. Madura tak seperti yang dipikirkan orang. Masyarakatnya sebenarnya lembut dan welas asih,” pungkasnya.
BACA JUGA: Carok dan Pergeseran Nilai di Madura (13): Darah Obat Hati Luka
Carok memang merupakan tradisi. Tapi telah lama punah. Yang ada saat ini hanyalah tokar atau pertengkaran semata. Tapi lepas dari segi apa pun, kekerasan adalah perbuatan melawan hukum.
Dengan bercarok atau menghabisi orang lain, maka itu sama saja merampas hak hidup seseorang. Semoga tak terjadi lagi peristiwa-peristiwa serupa di Madura. (Guruh Dimas Nugraha)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: