Jokowi, Duterte, dan Lee Kuan Yew

Jokowi, Duterte, dan Lee Kuan Yew

ILUSTRASI Jokowi, Duterte, dan Lee Kuan Yew.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Bongbong dan Prabowo akhirnya menang. Cara menang Prabowo lebih kasar karena mendapat ”dekengan pusat” dari Jokowi. Meski kemenangan belum konklusif, publik sudah mengira-ngira bagaimana masa depan hubungan Jokowi dan Prabowo.

BACA JUGA: Jokowi Tegaskan Tidak Ada Kenaikan Harga BBM

Banyak yang mengira Prabowo akan menjadi anak manis yang akan menurut terhadap kemauan Jokowi. Kalau dulu Jokowi dianggap sebagai sekadar wayang yang dimainkan Megawati –dan ternyata sangat salah– sekarang orang mengira bahwa Prabowo juga hanya akan menjadi wayang bagi Jokowi.

Anggapan bisa menjadi kesalahan fatal karena rekam jejak Prabowo yang tidak terlalu meyakinkan sebagai anak manis yang penurut. Pak Harto, sang mertua, dikhianati Prabowo dengan berusaha menikamnya dari belakang, apalagi Jokowi yang tidak mempunyai hubungan historis dan psikologis yang panjang dengan Jokowi.

Beberapa media luar negeri memprediksi hubungan Jokowi-Prabowo tidak akan bertahan lama. Bulan madu politik antar keduanya diperkirakan akan singkat. Hal yang sama terjadi antara Duterte dan Bongbong Marcos sekarang ini. Hanya dalam tempo dua tahun, hubungan keduanya pecah dan menjadi berantakan.

BACA JUGA: Jokowi Pastikan Stok Beras Aman Jelang Lebaran

Sekarang ini perseteruan antara Duterte vs Bongbong Marcos berlangsung terbuka. Duterte menuduh Bongbong ingin memerkosa konstitusi yang memungkinkan dirinya bisa menjadi diktator seumur hidup seperti bapaknya. Kongsi politik yang hanya berdasar pragmatisme akhirnya bubar dalam tempo singkat.

Hal yang sama diprediksi bakal terjadi antara hubungan Jokowi-Prabowo. Berbagai skenario sudah bermunculan. Ada yang mangatakan Prabowo hanya akan bertahan dua atau tiga tahun, setelah itu Prabowo akan ”dimatikan” dan diganti Gibran. Jokowi akan berperan sebagai dalang besar yang memainkan Gibran sebagai wayang.

Peran apa yang bakal dimainkan Jokowi? Itulah pertanyaan yang banyak muncul belakangan ini. Banyak spekulasi yang bermunculan. Ada yang menyebut Jokowi akan mengambil alih Partai Golkar dengan menempati posisi dewan pembina yang powerful. Ada yang memprediksi Jokowi akan menjadi ketua dewan pembina PSI (Partai Solidaritas Indonesia), dengan catatan partai itu lolos ambang batas parlemen.

BACA JUGA: Komentar Jokowi soal Lonjakan Suara PSI Menuju Lolos ke Senayan

Dua posisi tersebut tidak akan powerful untuk mengendalikan pemerintahan. Kalau masih tetap ingin memengaruhi pemerintahan, apalagi memengaruhi secara dominan, Jokowi harus memegang posisi di kabinet. Pertanyaannya, posisi apa yang cocok bagi Jokowi?

Marilah kita melihat apa yang dilakukan Lee Kuan Yew. Aroma nepotisme dan politik dinasti dipertontonkan Lee ketika menyiapkan anaknya, B.G. Lee, untuk menggantikannya sebagai perdana menteri. Namun, ternyata B.G. Lee tidak cukup siap sehingga diparkir dulu selama lima tahun dan Lee mengangkat Goh Chok Tong sebagai perdana menteri transisi.

Sambil menunggu B.G. Lee matang, Lee Kuan Yew menempatkan dirinya sebagai menteri senior. Dengan jabatan itu, Lee masih tetap bisa mengontrol pemerintahan dan mengendalikannya secara tidak langsung. Setelah lima tahun, akhirnya tampuk kekuasaan diserahkan kepada B.G. Lee. Lee Kuan Yew pun tetap menjadi supervisi sebagai menteri senior.

BACA JUGA: Jokowi, The Next Level Soeharto

Rapor Lee di bidang demokrasi merah, tapi prestasinya di bidang ekonomi mengagumkan. Itulah yang ingin ditiru Jokowi. Akankah Jokowi menjadi Lee Kuan Yew yang akhirnya bisa mengantar sang putra mahkota dengan mulus? 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: