Mengenal Asal-Usul Tunjangan Hari Raya (THR) di Indonesia
Mengenal asal-usul tunjangan hari raya (THR) setiap lebaran di Indonesia. --iStock
Pada masa Orde Baru, langkah penting diambil dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI No. 04/1994 tentang THR Keagamaan. Aturan ini menjadi titik penting dalam sejarah, karena untuk pertama kalinya, hak para pekerja untuk menerima THR diakui secara hukum.
Baru pada tahun 2003, empat tahun setelah masa Reformasi, pemerintah memperkuat aturan seputar THR dengan menerbitkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Undang-undang ini merinci berbagai aspek terkait THR, termasuk besaran, waktu pembayaran, dan sanksi bagi perusahaan yang melanggarnya.
BACA JUGA:Perangkat Desa dan Honorer tak Dapat THR
Tak hanya sebagai pemberian uang menjelang hari raya, makna THR semakin meluas seiring berjalannya waktu. Kini THR menjadi simbol kepedulian dan kasih sayang yang diwujudkan dalam berbagai bentuk, seperti sembako, makanan, pakaian, dan kebutuhan lainnya.
Lebih dari sekadar tradisi dalam dunia kerja, THR telah menjadi simbol hubungan baik dan kepedulian di antara sesama. Perusahaan yang tidak memberikan THR dengan memadai dianggap kurang peduli terhadap kesejahteraan karyawannya.
Dengan demikian, selain terkait dengan pekerjaan dan uang, THR kini menggambarkan esensi kepedulian dan kasih sayang yang diwujudkan melalui berbagai bentuk pemberian kepada orang-orang terkasih dan masyarakat luas.
BACA JUGA:Pemerintah Resmi Keluarkan Kebijakan Tunjangan Hari Raya dan Gaji Ke-13 Tahun 2024
Itulah penjelasan terkait asal-usul kehadiran THR saat Lebaran. Selain menjadi tradisi yang lekat dengan umat Muslim di Indonesia, THR telah menjadi bagian penting yang diatur oleh pemerintahan untuk mempertahankan tingkat daya beli masyarakat terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. (Jessica Laurent)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: