Yang Tampak dari Panggung Sidang MK

Yang Tampak dari Panggung Sidang MK

Para menteri yang memberikan keterangan di sidang Mahkamah Konstitusi, Jumat, 5 April 2024. Dari kiri atas searah jarum jam, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Menko PMK Muhadjir Effendy, dan Menteri Sosial Tri Rismaharin-Foto-foto: Adek Berry-AFP-

Melihat sidang Mahkamah Konstitusi (MK) dalam dua minggu ini, ada tanda-tanda seakan para hakim MK lebih terbuka pada semua opsi putusan, baik menolak maupun menerima gugatan. Walau mungkin akan berpikir, jika sampai harus menerima gugatan, betapa beratnya untuk mengembalikan keadaan dan kejiwaan ke titik sebelum pemilu.
 

--
 
KITA tahu pemerintah dan pasangan calon 02 sengaja jalan terus. Seakan tidak mungkin ada diskualifikasi sebagaimana gugatan pemohon. Prabowo Subianto malah sudah ke Tiongkok dan diterima seolah-olah sudah menjadi Presiden.
 
Di sini, MK dalam posisi yang berat dan sulit. Di satu sisi mereka pasti ingin mengembalikan marwah MK yang hancur karena Putusan No. 90 tahun 2023. Di sisi lain, jika MK berani memutus diskualifikasi Prabowo-Gibran, bisa muncul chaos dan krisis. Padahal, kalau terjadi chaos, yang akan memegang kendali adalah presiden Joko Widodo (Jokowi). Ia akan di-backup Panglima TNI, Kapolri, Kasad, Kasau, dan Kasal yang semuanya merupakan “All The President’s Men”.
 
Maka yang paling mungkin didorong dan di-framing berisiko kecil dengan ’’keributan’’ sebentar adalah MK menolak gugatan. Kalau kemudian terjadi unjuk rasa, TNI-Polri pasti sudah siap mengantisipasi dan menghadapi pengunjuk rasa.
 
Jumat, 5 April 2025, MK memanggil empat menteri untuk memberi keterangan. Tetapi, yang boleh bertanya hanya para hakim MK, tanpa membuka pertanyaan dari pemohon sebagaimana lazimnya kehadiran saksi biasanya di lingkup peradilan.
 
Dengan hanya memberi keterangan, perspektif pembahasan jadi datar dan kurang tajam. Makanya, pemanggilan menteri-menteri ke MK dibiarkan oleh Presiden karena tahu para menteri tentu bisa menjawab pertanyaan hakim secara teknis dan normatif.
 
 
Namun, makna kehadiran menteri-menteri di MK sudah cukup menunjukkan bahwa upaya hukum telah dilakukan serius. Itulah konsep “seeing is believing.” Apa yang tampak di mata rakyat akan dipercaya sebagai upaya yang benar, walaupun aslinya materi yang diperoleh dari tanya jawab dengan para menteri itu tak terlalu banyak guna terkait isu perusakan demokrasi.
 
Konsep “seeing is believing” sendiri sering dipakai dalam konteks political public relations. Termasuk menjadi strategi komunikasi agar rakyat bisa melihat keseriusan Jokowi membangun negeri.
 
Begitu pula kerja MK sekarang. Harus terlihat serius agar kekecewaan rakyat tidak menjadi-jadi. Panggung yang menarik di MK itu bisa sebagai sarana katarsis terhadap berbagai kekecewaan.
 
Dulu di Sidoarjo, Jawa Timur, ketika lumpur Lapindo meluap dan membuat warga ngeri dan marah karena wilayahnya terancam, yang dilakukan adalah memasukkan bola-bola beton ke dalam mud volcano atau pusat lumpur panas.
 
Secara teknis, upaya memasukkan bola-bola beton itu tidak ada manfaatnya, karena bola langsung masuk ke perut bumi. Tapi, aktivitas itu dikerjakan sebagai upaya komunikasi, agar rakyat melihat ada upaya serius yang dikerjakan oleh otoritas. Itulah yang dinamakan konsep “seeing is believing.” Dengan melihat itu, rakyat tenang dan percaya bahwa negara sudah bekerja.
 

Para menteri yang memberikan keterangan di sidang Mahkamah Konstitusi, Jumat, 5 April 2024. Dari kiri, Menteri Sosial Tri Rismaharini, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, dan Menko PMK Muhadjir Effendy.-Adek Berry-AFP-
 
Dalam konteks sengketa hasil Pemilu, kalau nanti tiba waktunya putusan, MK akan diakui sudah bekerja maksimal. Sebagaimana yang terlihat, MK sampai menghadirkan empat menteri sebagai saksi.
 
Jika masih ada yang protes dengan gerakan perlawanan demokrasi, mereka akan dianggap sebagai kelompok berisik yang tidak legowo. Kelompok yang tidak menerima kenyataan hingga bisa mengganggu persatuan dan agenda nasional. Bahkan dituding akan menghambat upaya mewujudkan Indonesia Emas. Itulah cara meredam gejolak politik dengan memengaruhi persepsi rakyat. Political reality is about perception.
 
Setelah panggung MK nanti selesai, kemungkinan selesai pula ruang legal untuk menyelamatkan demokrasi di negeri ini. Kenyataan yang harus diterima, faktanya sebagian besar elite politik negeri ini memang sudah bobrok. Dan Jokowi berhasil menghimpun dan mengelola kebobrokan itu menjadi kekuatan politiknya.
 
 
Penegakan hukum yang ditakuti para elite yang bobrok menjadi alat politik yang efektif bagi Jokowi. Membuat orang-orang bobrok tak berdaya kecuali ikut Jokowi. Alhasil, law is a tool of political engineering. Sedangkan dalam hal kekuatan rakyat, kekuatan demokrasi makin "tidak berdaya". Sudah begitu, masih dianggap sebagai pihak yang mengganggu kepentingan nasional.
 
Sementara dengan berjalannya waktu, sebagian besar orang akan sibuk memikirkan nasibnya sendiri daripada persoalan mengurus rusaknya demokrasi. Case closed. Semua hanya jadi catatan sejarah buruk tentang demokrasi di negeri ini. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: