Hari Bumi dan Impor Sampah

Hari Bumi dan Impor Sampah

ILUSTRASI Hari Bumi 2024.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Tiongkok, seiring dengan kemajuan ekonominya, lantas melarang impor sampah. Bahan daur ulang yang dihasilkan dari sampah elektronik seperti emas juga tidak lagi menarik akibat efek merugikan pada lingkungan yang besar. 

Karena kebijakan itu, lantas sampah-sampah tersebut membanjiri Asia Tenggara yang datang dengan bentuk impor plastik bekas, pakaian bekas, dan elektronik bekas. 

 

SULITNYA MENJERAT PELAKU

Kejahatan sampah itu sulit ditangani karena melibatkan banyak jaringan kejahatan transnasional. Sulit juga karena banyak negara yang memperlakukannya sebagai kejahatan administratif dengan sanksi yang ringan. 

Solusinya kerap dengan mengirimkan kembali sampah ekspor itu ke negara asal seperti yang dilakukan Malaysia pada 2019 dengan mengirim kembali sampah-sampah tersebut kepada tiga belas negara pengekspor. 

Filipina melakukan hal yang sama pada 2019, mengirim sampah ke negara asal, Kanada. Pada tahun yang sama, Indonesia mengirimkan kembali sampah plastik yang tercemar B3 ke Prancis, Hongkong, Amerika Serikat, dan Australia. 

Di level internasional, sudah ada 50 negara yang menandatangani Konvensi Basel. Itu adalah konvensi yang mengatur perdagangan bahan-bahan berbahaya, termasuk sampah plastik dan elektronik. 

Konvensi tersebut muncul sebagai bentuk keprihatinan maraknya perdagangan sampah dari negara-negara maju yang diekspor ke negara-negara di Eropa Timur dan berkembang lainnya di tahun 1980-an. 

Hampir setengah abad isu itu muncul, perdagangan sampah juga masih kerap terjadi. Permasalahannya tetap sama. Minimnya penguasaan teknologi dan pembiayaan, fasilitas daur ulang yang terbatas, dan badan pengawas dari pemerintah yang masih lemah adalah tiga masalah utama yang muncul di banyak negara. 

Bahkan, untuk Uni Eropa yang selama ini aktif menyuarakan konvensi itu, faktanya justru negara-negara Eropa adalah pengekspor sampah terbesar di dunia. 

Di negara-negara pengekspor seperti di Eropa, biaya untuk melakukan daur ulang mahal. Mengirimkannya ke negara-negara dengan aturan hukum lingkungan yang lemah dianggap lebih murah dan praktis.

 

INDONESIA BISA APA?

Sudah saatnya Indonesia perlu menguatkan aturan soal impor sampah. Bisa dengan pembatasan kuota impor sampah plastik seperti yang dilakukan Vietnam dan Thailand yang melarang impor sampah elektronik. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: