Greenflation, dari Basa-basi Politis ke Kesadaran Ekologis
ILUSTRASI greenflation alias inflasi hijau.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
AGENDA INDONESIA
Berdasar peraturan yang ada saat ini, seperti Peraturan Pemerintah No 79 Tahun 2014 dan Peraturan Presiden No 22 Tahun 2017, Indonesia telah memiliki target penggunaan energi terbarukan minimum sebesar 23 persen pada 2025 dan 31 persen pada 2050.
Indonesia juga telah meratifikasi Perjanjian Paris yang ditransformasikan di dalam negeri menjadi Undang-Undang No 16 Tahun 2016.
Semua peraturan di atas menunjukkan bahwa Indonesia sebenarnya sangat berkomitmen untuk menjalankan pembangunan rendah karbon. Pemerintah juga telah berulang kali menekankan pentingnya transisi energi menuju energi baru dan terbarukan demi mempercepat pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Namun, terlepas dari komitmen emisi karbon di atas, batu bara tetap dianggap sebagai komoditas ekspor unggulan (Kemenkeu RI, 2022). Sumber pasokan energi nasional Indonesia pun makin didominasi jenis energi tak terbarukan tersebut. Pasokan batu bara meningkat dari sekitar 26 persen pada 2012 menjadi 41 persen pada 2022 (Kementerian ESDM RI, 2023).
Berbagai upaya mengurangi subsidi energi fosil terus dilakukan berbagai pemerintahan sejak saat itu. Ada episode suksesnya, misalnya, pada era SBY-JK 2004–2009 dan Jokowi-JK 2014–2019. Namun, banyak pula episode gagalnya. Itu terjadi khususnya ketika upaya mengurangi subsidi energi mendapat tekanan dan perlawanan dari DPR RI maupun mahasiswa dan buruh lewat berbagai demonstrasi, termasuk terakhir pada 2022.
Kemitraan itu menjanjikan penghentian penggunaan energi batu bara dan peningkatan produksi energi terbarukan. Dalam rencana investasi dan kebijakan komprehensif yang diluncurkan pada November 2023, Indonesia menargetkan untuk membatasi puncak emisi karbonnya pada 2030 dan mencapai net zero emission (NZE) pada 2050.
Dinamika kebijakan di atas memberikan gambaran tentang bagaimana inisiatif pembangunan rendah karbon itu rumit secara politik dan sosial. Terlepas dari dinamika tersebut, Indonesia terus berkomitmen melakukan pengurangan emisi karbon lebih lanjut.
Yang mutakhir, kemitraan transisi energi berkeadilan melalui kampanye edukasi, baik ditujukan kepada korporasi penghasil polutant emission maupun kepada masyarakat, mengenai manfaat menggunakan produk ramah lingkungan agar kesadaran akan pentingnya penggunaan produk tersebut makin meningkat.
Hidup bermartabat bisa tercipta melalui lingkungan sehat, bukankah begitu? (*)
Sukarijanto, direktur di Institute of Global Research for Entrepreneurship & Leadership dan kandidat doktor di program S-3 PSDM Universitas Airlangga-Dok Pribadi-
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: