Budaya Klenik dan Millenaries Leader di Indonesia

Budaya Klenik dan Millenaries Leader di Indonesia

ILUSTRASI Budaya klenik dan millenaries leader di Indonesia.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Hampir semua filsafat politik yang diuraikan Plato, Aristoteles, maupun di zaman pertengahan atau dikenal dengan teori politik Agustinus mengedepankan atau memiliki kecenderungan bagaimana rakyat atau warga negara memiliki etika hidup manusia. 

Yaitu, hidup senang dan bahagia dan bersifat intelektual dan rasional. Teori politik Aristoteles bernuansa filsafat politik yang meliputi filsafat teoretis, filsafat praktik, dan filsafat produktif. Aristoteles berpendapat, sumbu kekuasaan dalam negara adalah hukum. 

Oleh karena itu, para penguasa harus memiliki pengetahuan dan kebajikan yang sempurna. Sedangkan warga negara adalah manusia yang masih mampu berperan.

Dalam teori politik zaman pertengahan, negara sekuler dianggap sebagai penyelewengan oleh para penguasa yang arif dan bijaksana sehingga kekuasaan bagaikan keangkuhan dengan berbagai kejahatan. 

Sebaliknya, negara Tuhan menghargai segala sesuatu yang baik dan mengutamakan nilai kebenaran. 

Perkembangan negara Tuhan didasarkan atas kasih Tuhan. Masalah politik negara sekuler yang membawa ketidakstabilan dari konflik kepentingan yang dominan, rakus kekuasaan, ketidakadilan dalam pengadilan, peperangan.

Tampaknya demokrasi yang dibangun di negeri ini jauh dari teori ilmu politik yang diajarkan di bangku-bangku sarjana, pascasarjana sekelas ilmu profesor pun tak mengena, karena yang dilakukan para politikus kadang jauh dari etika politik. 

Demokrasi kadang tak mengenal standar moral dan kualitas. Orang buruk dan bodoh, bahkan orang jahat dan korup pun, akan dipilih menjadi pemimpin karena mayoritas rakyat telah memilihnya. 

Semua itu bisa terjadi karena rumus dasar demokrasi adalah jumlah kepala, bukan isi kepala.

Kedaulatan tidak lagi di tangan rakyat, tetapi di tangan penguasa dan lembaga politik. Lembaga politik seperti partai politik tidak lagi merepresentasikan kepentingan rakyat, tetapi merepresentasikan kepentingan partai dan elite partai. 

Jangan salahkan rakyat bila sindiran politik menggema ke seluruh pelosok negeri seperti politik Sengkuni, politik dagang sapi, politik sapi perahan, politik jalanan, dan politik dinasti. Dengan dmeikian, politik dimaknai sebagai adu kekuatan dan kepentingan.

Sebaliknya, politik Pancasila yang kita miliki pada dasarnya tidak hanya berpegang pada kaidah hukum, tetapi juga lebih pada kesadaran dan kepantasan moral yang mengedepankan etika nilai-nilai Pancasila. 

Ironisnya, praktik semacam itu yang seharusnya dilaksankan di Indonesia, tapi justru dilaksanakan di negara lain. Di Jepang, misalnya, seorang pejabat tinggi akan mundur karena pertimbangan moral ketika gagal melaksanakan tugas. 

BUDAYA KLENIK

Negeri ini tidak menganut paham politik bagaimana rakyat hidup bahagia bersifat intelektual dan rasional. Namun, kepemimpinan di negeri ini masih kental diwarnai dengan ciri khas masyarakat parokial dan patrimonial. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: