Narasi dari Balik Kampung Kota Peneleh, Surabaya

Narasi dari Balik Kampung Kota Peneleh, Surabaya

ILUSTRASI narasi dari balik "Kampung Kota" Peneleh, Surabaya.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Berkaca dari Peneleh, sejatinya banyak kesamaan yang juga akan ditemukan di kampung-kampung lain yang ada di dalam kota Asia Tenggara pada umumnya. Ada banyak cerita yang terselip dalam kisah masyarakat di dalam kampung di kota-kota Asia Tenggara. 

Salah satunya adalah cerita dari kisah pengalaman yang terungkap dari masyarakat kampung yang tinggal di Sabah dan Johor, Malaysia. Kisah cerita yang berangkat dari kearifan lokal masyarakat di Kampung Sabah dan Johor, sebagaimana ketika mereka menceritakan cara mereka menyelamatkan kampung dari bencana banjir di kawasan bantaran sungai di Johor ataupun kisah cerita dari masyarakat di Sabah saat mereka harus mempertahankan hidup. 

Cerita yang juga tidak jauh beda dengan apa yang telah dilakukan Lea Jellinek saat menuliskan hasil pengalaman lapangannya ketika tinggal bersama masyarakat di salah satu kampung di Kota Jakarta. Bagi Lea Jellinek, banyak hal yang ia temukan dari berbagai kisah cerita masyarakat di Kampung Kebon Kacang, Jakarta. 

BACA JUGA: Lara Ati Lokadrama, Tentang Peneleh dan Segala Realitasnya

BACA JUGA: Spesial Hari Ibu: Wiwik Hadi, Andalkan Resep Bakcang Peneleh Warisan Bunda

Mulai kesulitan ekonomi hingga kecurigaan-kecurigaan atas segala kebijakan serta program dari pemerintah, sesuatu yang (mungkin) tidak pernah bahkan jarang terungkapkan selama ini. Sama halnya dengan Patrick Guinness, dalam bukunya mengenai Kampung, Islam, and State in Urban Java (2009). 

Bagi Patrick, adanya kampung yang berada di perkotaan atau kota dengan keaslian serta perbedaan-perbedaan karakter yang dimilikinya, dipastikan akan memberikan banyak informasi maupun keterangan di dalamnya. Itu terbukti dari apa yang diperoleh Patrick Guinnes ketika mendapatkan banyak informasi dari cerita-cerita yang tersimpan dengan baik dalam masyarakat Kampung Ledok Yogyakarta. 

Merawat ingatan akan suatu peristiwa memang tidaklah gampang, apalagi jika kemudian merangkaikan ke dalam jalinan antara masa lalu dan masa kini. Oleh karena itu, tak banyak yang menggunakan hasil ingatan akan suatu peristiwa sebagai sebuah ”fakta hidup”. 

Itulah yang sering kali dihindari sebagian besar kalangan, terutama di kalangan ”sejarawan ortodoks” yang menganggap bahwa ingatan atas sebuah peristiwa rentan dengan subjektivitas dan romantisme. Padahal, melalui narasi, banyak yang bisa diungkap yang tidak atau belum terekam dalam bukti maupun dokumen resmi tertulis lainnya. (*)               


Moordiati, staf pengajar Prodi Ilmu sejarah, FIB, Universitas Airlangga--

 

 

  

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: