Metode Penyekapan di Duren Sawit
ILUSTRASI metode penyekapan di Duren Sawit, Jakarta Timur. Korban penyekapan dan penyiksaan lapor polisi. -Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
Jabuli kepada The Guardian: ”Anda hidup dengan ketakutan, bahwa orang-orang yang menyiksa Anda akan kembali menyiksa Anda lagi, terlepas dari apakah Anda sekarang berada di negara yang aman.”
Jabuli memilih tidak mau pacaran. Sebab, ia tidak ingin pacarnya melihatnya mengalami mimpi buruk atau melihatnya terbangun sambil menangis. Ia mengatakan, ”Saya tidak cukup baik untuk memiliki keluarga.”
Jabuli: ”Saya kehilangan harapan. Saya memberikan segalanya, setiap keputusan, kepada orang lain, untuk diputuskan orang lain. Apa pun yang Anda inginkan pada saya, silakan.”
The Guardian juga mewawancarai dua arsitek program penyiksaan CIA, keduanya psikolog yang cerdas: Bruce Jessen dan James Mitchell. Namun, ditegaskan, dua penyiksa CIA itu bukan yang menyiksa Jabuli. Tidak ada hubungan antara Bruce dan James dengan Jabuli.
Diwawancarai tentang teknik penyiksaan CIA, Bruce mengatakan, di CIA itu menggunakan istilah antiseptik ”learned helplessness” (ketidakberdayaan yang dipelajari).
Artinya, para penyiksa menghancurkan pengendalian diri seseorang hingga target secara emosional dan psikologis bakal selalu patuh atas perintah apa pun, dari siapa pun.
Sudah. Cuma itu yang bisa dikatakan pakar penyiksa dari CIA. Ditambahkan si pakar, mereka berbuat begitu dalam rangka tugas negara. Di bawah perintah komandan, demi membela negara AS.
Metode siksa learned helplessness adalah istilah yang dikaitkan dengan makalah ilmiah psikologi tahun 1972 oleh psikolog Martin Seligman.
Seligman memperhatikan dampak perilaku jangka panjang pada anjing yang diuji melalui sengatan listrik. Hasilnya, anjing itu bakal sangat penurut sampai mati.
Seligman: ”Trauma learned helplessness melahirkan sikap kepasifan target dalam menghadapi peristiwa traumatis. Juga, menghasilkan ketidakmampuan untuk belajar bahwa merespons adalah hal yang efektif, dan tekanan emosional pada hewan, dan mungkin depresi pada manusia.”
The Guardian mengutip laporan Senat AS yang mendokumentasikan dampak ketidakberdayaan tawanan perang yang ingin ditimbulkan oleh CIA, begini:
”Para tahanan di Afghanistan akan gemetar ketakutan ketika pintu sel mereka dibuka petugas. Beberapa di antaranya, menurut pendapat seorang interogator CIA, ’secara harfiah tampak seperti seekor anjing yang telah dikurung’.”
Artinya, aparatur CIA mengadopsi hasil riset kuno Seligman yang dianggap efektif. Disebut sebagai ”tingkat ketidakberdayaan yang diinginkan”.
Tapi, laporan Normansyah ke polisi masih dipelajari pihak Polres Metro Jakarta Timur. Dan, satu hal yang tidak dijelaskan Normansyah dan polisi, apakah ada laporan orang hilang dari keluarga MRR selama MRR menghilang itu? (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: