Haji Pasca-Armuzna

Haji Pasca-Armuzna

ILUSTRASI haji pasca-Armuzna (Arafah, Muzdalifah, Mina). Banyak jamaah haji asal Indonesia yang wafat setelah Armuzna.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

BACA JUGA: Tok! DPR Resmi Bentuk Pansus Angket Haji

Haji itu adalah Arafah. Maka, jamaah haji pun menyadari betul bahwa masa tinggal sebelum pelaksanaan Armuzna tak boleh dihabiskan untuk melaksanakan ibadah-ibadah sunah yang bisa menimbulkan kelelahan yang tinggi. 

Tenaga disimpan secara serius. Tingkat kesehatan dihitung sedemikian rupa. Kepentingannya agar mereka tak terlewat dari proses puncak ibadah di Armuzna. 

Nah, pasca-Armuzna yang menjadi masalah. Muncul problem psikososial di sejumlah kalangan jamaah haji Indonesia. Tak sedikit dari mereka yang merasa bahwa puncak haji sudah selesai dan mereka merasa telah mampu melewatinya. 

Konsekuensinya, mereka pun merasa tak perlu lagi ada yang dipermasalahkan, termasuk dengan tingkat kesehatan mereka. Penyebabnya sederhana. Dalam pandangan mereka, kalau puncak ibadah di Armuzna yang begitu berat saja bisa dilewati, ibadah-ibadah sunah lainnya pasca-Armuzna tentu akan lebih mudah dilewati. 

Lebih parah lagi, di luar kegiatan ibadah, muncul kebutuhan di kalangan jamaah haji untuk melakukan healing atau pemanjaan diri. Bentuknya, mulai melakukan perjalanan ziarah ke sejumlah titik bersejarah hingga berbelanja ria. 

Sejumlah titik bersejarah yang kerap menjadi titik perhatian kunjungan ziarah jamaah haji terbentang luas, mulai sejumlah titik di internal Makkah seperti Gua Hira dan Gunung Kasih (Jabal Rahmah) hingga keluar dari Mekkah. Sebut saja, Taif. Padahal, perjalanan Makkah-Taif membutuhkan waktu sekitar dua jam.

Semua titik destinasi bersejarah di atas terbentang di lapangan atau perbukitan terbuka. Karena itu, bisa dibayangkan bagaimana yang harus dirasakan jamaah haji Indonesia saat mereka berada di tengah area terbuka itu. 

Rata-rata mereka melaksanakan kunjungan ziarah tersebut saat siang. Sementara itu, cuaca sangat panas. Semua tahu dan merasakan itu. Maka, pasti saja kondisi tubuh jamaah haji yang melakukan wisata ziarah tersebut harus dipaksa untuk melakukan penyesuaian diri secara serius. 

Apalagi, pada musim haji 1445 H/2024 M tahun ini, cuaca di sejumlah wilayah di bentangan Makkah-Madinah bisa mencapai hingga 54 derajat Celsius atau bahkan lebih. Tentu itu ukuran suhu yang sangat tidak akrab bagi semua jamaah haji Indonesia. 

Karena tidak akrab, jamaah haji Indonesia pun tidak terbiasa dengan tingkat suhu sepanas itu. Maka, yang pasti terjadi jika jamaah haji memaksakan diri untuk melakukan perjalanan dan/atau kegiatan di siang hari adalah proses penyesuaian yang melahirkan pemaksaan diri yang tinggi. 

Di sanalah kondisi kelelahan menjadi isu paling rawan bagi jamaah haji Indonesia. Bagian kesehatan dari PPIH sudah mengantisipasi situasi itu. Mereka melakukan kampanye kembali atas kebutuhan untuk menjamin kesehatan diri secara serius. 

Pertama, melakukan promosi kesehatan agar jamaah beristirahat sampai bugar jika mulai merasa lelah. Itu dibutuhkan bagi pencegahan problem kelelahan yang bisa sangat mengkhawatirkan. 

Kedua, melakukan instrumentasi atas ikhtiar promosi kesehatan. Sejatinya, instrumentasi itu sangat bagus. Sebab, gagasan promosi kesehatan diturunkan ke dalam sejumlah manual yang mudah dilakukan. 

Contoh yang bisa diturunkan adalah manual Mosaik dan Bosku. Mosaik itu kependekan dari ”minum oralit sehari sekali” dan Bosku kependekan dari ”bawa obat di saku”. Memang, Mosaik maupun Bosku itu adalah kependekan dari substansi penting dari promosi kesehatan. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: