Tanggung Jawab Publik dan Budaya Mundur

Tanggung Jawab Publik dan Budaya Mundur

ILUSTRASI tanggung jawab publik dan budaya mundur. -Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

TAHUN 2017 publik Eropa dikejutkan dengan pengunduran diri dua pejabat tinggi Swedia setingkat menteri. Mundurnya pejabat tersebut terkait dengan bocornya data sensitif rakyat Swedia ke pihak ketiga. 

Kebocoran data tersebut menjadi salah satu yang terbesar dalam sejarah. Sebab, data yang bocor adalah data surat izin mengemudi (SIM) warga dan data-data militer Swedia yang mencakup daftar persenjataan militer, daftar nama-nama anggota intelijen dan penugasannya di beberapa negara, jumlah anggaran, serta jumlah personel militernya. 

Meski tak ada bukti bahwa kebocoran itu bisa membahayakan negara, dua menteri tersebut dengan sangat malu tetap memilih mengundurkan diri karena skandal itu menempatkan negara Swedia berada dalam potensi risiko bahaya.

BACA JUGA: Hampir Sebulan Peretasan PDNS 2, Pemerintah Baru Pulihkan 86 Layanan Publik

BACA JUGA: Diresmikan 23 Juni 2024, Ini Transportasi Publik Menuju Kota Lama Surabaya!

Bukan hanya di Swedia, pada 2008 menteri luar negeri Kanada mengundurkan diri karena tas jinjing yang berisi dokumen rahasia milik negara tertinggal secara tidak sengaja di apartemen pasangannya. 

Seorang menteri kelistrikan dan air negara Kuwait mundur dari jabatannya tahun 2020 yang baru diembannya dua minggu karena tanpa sengaja membocorkan rahasia kementerian kepada pihak vendor. 

Disusul pada 2014 Perdana Menteri Korea Selatan Chung Hong-won meletakkan jabatannya karena merasa bersalah dan gagal mengantisipasi dan menyelamatkan ratusan korban tenggelamnya kapal feri Sewol. 

Tahun 2019 menteri transportasi Mesir mengundurkan diri karena terjadinya kecelakaan kereta api yang mengakibatkan 25 orang meninggal dunia. 

Seorang menteri penerbangan sipil dan pariwisata Bangladesh pada 2005 meletakkan jabatannya karena merasa gagal menurunkan harga tiket pesawat untuk ibadah haji pasca mendapat hantaman kritik anggota parlemen karena dinilai terlalu mahal.

”Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya”. Bak pepatah lama, budaya mundur dari jabatan tidak bisa digebyah-uyah karena perbedaan kultur masyarakatnya. Ketidakmampuan mengelola internal kelembagaan yang dipimpinnya menunjukkan lemahnya kualitas kepemimpinan dengan lebih memilih untuk lari menghindari konflik dengan cara mengundurkan diri dari jabatannya. 

Dalam bahasa Jawa, itu dikenal dengan ungkapan ”tinggal glanggang colong playu”. Mencuri kesempatan untuk melarikan diri keluar dari gelanggang pertandingan. Maka, sungguh tidak elok mengundurkan diri dari jabatan yang telah diamanahkan kepadanya.

ANOMALI TANGGUNG JAWAB

Dalam konteks budaya politik, mundur dari jabatan memang bukan bagian dari tradisi politik yang ada, setidaknya sejak dimulainya Orde Baru yang mengharamkan adanya oposisi. Di zaman itu, siapa pun yang mundur dari jabatan –secara politik– langsung dituduh beroposisi terhadap kekuasaan, lalu dikucilkan hingga akhir hayatnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: