Penerapan Pajak Karbon, Siapa Yang Untung?

Penerapan Pajak Karbon, Siapa Yang Untung?

ILUSTRASI penerapan pajak karbon, siapa yang untung?-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Hal itu terkait dengan penyesuaian harga pokok produksi mereka yang dibebani biaya pajak karbon sehingga harga produk cenderung mahal.

Sebaliknya, dari sisi pemerintah, konsep yang dikedepankan dari penerimaan pajak karbon pada dasarnya bisa dialokasikan pada pemberian insentif atau subsidi ke sektor lain yang sangat urgen seperti pendidikan, kesehatan, transportasi publik, dan industri hijau (green industry). 

Oleh karena itu, implementasi pajak karbon diharapkan mampu menjadi solusi masalah-masalah lingkungan sekaligus menjadi salah satu basis penerimaan negara. 

Manfaat pajak karbon selain sebagai instrumen atau alat penekan emisi gas rumah kaca, juga bisa mendongkrak perekonomian negara dan peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui redistribusi pendapatan dari pengenaan pajak karbon. 

Kita bisa tengok hasil redistribusi pendapatan negara yang diperoleh dari pengenaan pajak karbon. Sebagai contoh, Finlandia, sebagai negara pertama yang menerapkan pajak karbon, sejak 1990 sampai 1998 terbukti berhasil menekan emisi karbon sebesar 7 persen dari total emisi yang dihasilkan. 

Bahkan, menurut data Bank Dunia tahun 2018, negara itu terus mengalami penurunan emisi karbon yang signifikan. Pada 2000 sampai tahun 2018, emisi karbon Finlandia menurun 19,49 persen. 

Di sisi lain, sebagai kompensasi pengenaan pajak karbon, para pelaku usaha di sektor industri dan warga negara bisa menikmati biaya pendidikan gratis mulai sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Infrastruktur penunjang industri pun terbangun dengan baik. 

Memang diakui bahwa Finlandia menerapkan tarif pajak lebih mahal untuk sektor transportasi jika dibandingkan dengan sektor lainnya. Saat ini Finlandia merupakan salah satu negara dengan penerapan pajak karbon tertinggi di dunia (urutan keenam) dengan tarif mencapai USD 85,1 per ton karbon.

Sementara itu, Swedia sebagai negara tetangga Finlandia, yang menerapkan pajak karbon sejak 1991, juga mengalami penurunan emisi karbon sebesar 27 persen. Swedia menempati tarif pajak karbon tertinggi di posisi kedua dengan tarif mencapai USD 129,80 per ton karbon. 

Dari Asia, ada negara Jepang yang menerapkan tarif USD 2,36 per ton karbon. Sejak 2013 sampai 2019, Jepang telah berhasil mengurangi emisi karbon sampai 8,2 persen. 

Bagaimana dengan Indonesia? Tarif pajak karbon yang telah diterapkan pemerintah sebesar paling rendah Rp 30 per kilogram karbondioksida ekuivalen (CO2e) atau Rp 30.000 per ton CO2e atau setara dengan USD 1,93 per ton CO2e. 

Padahal, usulan awal pengenaan tarifnya adalah Rp 75 per kg CO2e. Dengan tarif tersebut, Indonesia termasuk negara dengan tarif pajak karbon terendah di dunia.

Meski demikian, di luar isu pajak karbon, Indonesia telah melakukan beberapa terobosan nyata demi mereduksi emisi gas rumah kaca. Di antaranya, kebijakan mobil listrik, pembangunan pembangkit listrik panas bumi, pembangkit listrik tenaga surya, dan lain sebagainya. 

Sebagai bentuk redistribusi pendapatan dari sektor pajak karbon, upaya membangun Indonesia menuju lebih hijau dan demi masa depan dunia yang lebih baik merupakan impian kita bersama. Bukankah begitu? (*)


Sukarijanto, pemerhati kebijakan publik dan peneliti senior di Institute of Global Research for Economics, Entrepreneurship & Leadership; kandidat doktor di Program S-3 PSDM Universitas Airlangga.--

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: