Kanker Serviks di Indonesia

Kanker Serviks di Indonesia

ILUSTRASI kanker serviks di Indonesia-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

BACA JUGA: Titiek Puspa Berbagi Cerita Seru Melawan Kanker Serviks

Deteksi dini sangat penting. Pasalnya, bila terdeteksi masih dalam tahap prakanker (belum kanker), kesembuhannya 100 persen, tidak perlu angkat rahim, kemoterapi, ataupun radiasi. Cukup dengan tindakan sederhana, yakni laser, kauter, krioterapi, leep, dll.

Di sinilah pentingnya perempuan menjalani deteksi dini, tidak menunggu keluhan, karena lesi prakanker tidak selalu disertai keluhan.

Bila hasil deteksi dini menunjukkan abnormalitas, di negara maju dilakukan kolposkopi. Yaitu, serviks dilihat dengan kamera khusus disertai pembesaran. Dengan begitu, tampak jaringan pelapis serviks, lalu bisa dilakukan biopsi (cubitan untuk mengambil contoh jaringan serviks) untuk pengecekan sel-sel secara histopatologi. 


Ilustrasi kanker serviks yang disebabkan virus human papillomavirus (HPV) yang menyerang sel-sel leher rahim. -National Cancer Institute-www.cancer.gov/

Alat kolposkopi tidak murah, berkisar ratusan juta rupiah. Perlu diingat, pemeriksaan kolposkopi bukan skrining pertama, tapi dilakukan bila hasil pap smear abnormal. Skrining pertama tetap inspeksi visual dengan asam asetat, pap smear, atau tes HPV.

Himpunan Onkologi Ginekologi Indonesia (HOGI) melalui satgas lesi prakanker yang dikomandoi Prof Laila Nuranna dan tim mengembangkan apa yang disebut telekonsultasi tes IVA yang didokumentasikan (teleDoIVA). 

Prosedurnya sederhana. Serviks difoto dengan kamera smartphone dan dianalisis. Prosedur teleDoIVA bisa dilakukan berbagai tenaga kesehatan, bidan, dokter umum, spesialis, dan konsultan. 


Kanker Serviks-Sebagian besar sudah stadium lanjut dan terlambat dideteksi-Freepik

Untuk di faskes primer, hasil jepretan serviks bisa didiskusikan dengan pakar dokter SpOG konsultan onkologi ginekologi melalui aplikasi chat, mediskusikan kemungkinan diagnosisnya apa, harus dirujuk atau tidak, perlu penanganan bagaimana, dll. 

Semua tetap dilakukan secara anonim untuk menjaga privasi. TeleDoIVA jauh lebih murah daripada kolposkopi. Saat ini sedang dilakukan penelitian lanjutan teleDoIVA dan rencananya dipublikasikan di jurnal internasional bereputasi. 

Kini teleDoIVA sudah diakui WHO, masuk di buku-buku WHO. Bahkan, judulnya bisa membuat Indonesia bangga, paling tidak ada nama Indonesia di buku WHO tersebut. Judul artikel di buku WHO membuat kita bangga: Teledoiva: An Innovation to Tackle Cervical Cancer in Indonesia. Judul buku WHO tersebut adalah Shifthing Paradigm in Frontline NCD Service in Southeast Asian Region.


Gejala Kanker Serviks-Kemenkes RI-

Contoh inovasi-inovasi asli Indonesia yang layak mendapat apresiasi.

Tidak berhenti di sana, dr Patiyus Agustiansyah dan tim dari Palembang juga mengembangkan aplikasi yang disebut dengan Teleotiva. Suatu metode di mana foto serviks diambil melalui aplikasi di smartphone agar hasilnya lebih presisi. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: