Urgensi Konfigurasi Ulang Strategi Menghadapi Pelemahan Rupiah
ILUSTRASI Urgensi Konfigurasi Ulang Strategi Menghadapi Pelemahan Rupiah.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
Itu terlihat jelas di Amerika Latin pada awal 1980-an, ketika spekulan meragukan kemampuan pemerintah untuk mempertahankan patokan nilai tukar mereka, dan di Asia pada akhir 1990-an, ketika investor kehilangan kepercayaan pada pasar keuangan.
REKONFIGURASI KEBIJAKAN
Kalau kita amati laju pergerakan nilai tukar rupiah sejak awal 2010 hingga kuartal pertama 2024, tercatat rupiah secara kumulatif telah mengalami depresiasi sebesar hampir 41 persen (laporan Bank Indonesia tahun 2024).
Apabila dilakukan benchmarking dengan negara peers, yakni mata uang peso, Indonesia dalam posisi yang lebih besar depresiasinya. Peso Filipina terdepresiasi secara kumulatif sebesar 18 persen, jauh lebih kecil daripada depresiasi Indonesia.
Besaran kumulatif depresiasi dari rupiah terhadap dolar mirip dengan besaran kumulatif dari peers, yakni rupee India, yang mengalami depresiasi sebesar 45 persen. Setidaknya rupiah sedikit lebih baik jika dibandingkan dengan India.
Pun, rupiah berada pada posisi relatif lebih baik jika dibandingkan dengan lira Turki yang telah terdepresiasi secara kumulatif sebesar 95%, rubel Rusia 68%, dan real Brasil sebesar 64%. Di level negara ASEAN, negara kompetitor kita dalam hal nilai tukar yang lebih lemah dari rupiah, yakni vietnam Dong (VND), tercatat hanya mengalami depresiasi kumulatif sebesar 25%.
Tekanan eksternal dan internal yang melebihi kondisi normal tersebut tentu perlu diwaspadai meskipun otoritas BI dan pemerintah konsisten memantau dan khususnya BI terus mengantisipasi dengan berbagai paket kebijakan (triple intervention, baik di spot maupun domestic non deliverable forward/DNDF).
Antisipasi lainnya adalah mengoptimalkan instrumen sukuk valas Bank Indonesia (SVBI), sekuritas rupiah Bank Indonesia (SRBI), menguatkan kebijakan devisa hasil ekspor (DHE) dalam transaksi perdagangan ekspor masih perlu dipertahankan, dan akselerasi penggunaan local currency settlement, serta memperkuat pengelolaan dan institusi pasar valas harus benar-benar menjadi prioritas kebijakan.
Ada beberapa pendekatan yang mungkin bisa dijadikan sebagai contingency plan pemerintah dan BI dalam meredam gejolak tekanan hebat terhadap pelemahan rupiah.
Pertama, melakukan reformasi kebijakan di sektor regulasi tentang aturan DHE. Menurut Peraturan Pemerintah No 1 Tahun 2019 tentang Devisa Hasil Ekspor dari Kegiatan Pengusahaan, Pengelolaan dan/Pengolahan Sumber Daya Alam, pemerintah mewajibkan valuta asing DHE sumber daya alam untuk disimpan di dalam sistem keuangan Indonesia, paling lama tiga bulan.
Barangkali kebijakan itu terkesan ekstrem. Namun, dengan memperpanjang durasi deposit DHE lebih dari tiga bulan (kurang dari 6 bulan), bisa memberikan ruang relaksasi moneter untuk melakukan pengakumulasian cadangan devisa sehingga mampu memberikan jaminan kepercayaan ke arah penguatan rupiah.
Kedua, mendesak dilakukannya diversifikasi ekspor agar tidak dominan komoditas yang harganya rentan berfluktuasi, diperkuat pula dengan diversifikasi tujuan ekspor agar tidak terlalu bergantung pada pasar beberapa negara saja. Selain itu, BI perlu diversifikasi impor agar kebutuhan input impor menurun.
Ketiga, menggenjot peran sektor industri pariwisata sebagai sumber penerimaan valas.
Keempat, terus meningkatkan foreign direct investment (FDI) dengan reformasi kebijakan perizinan investasi. Kemudahan berbisnis di Indonesia perlu terus dipacu untuk menstimulasi masuknya arus investasi, baik FDI maupun domestic direct investment (DDI).
Pada gilirannya, ketergantungan perekonomian pada ”hot money” atau investasi portofolio asing mampu diminimalkan. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: