Menilik Fenomena Bisnis Joki dalam Pendidikan Indonesia (4-Habis): Ragam Cara Dosen Deteksi dan Cegah Penjoki

Menilik Fenomena Bisnis Joki dalam Pendidikan Indonesia (4-Habis): Ragam Cara Dosen Deteksi dan Cegah Penjoki

Dosen harus memberi perhatian intensif kepada setiap mahasiswa sebagai upaya pencegahan praktik joki tugas.-Boy Slamet/Harian Disway -

Terkadang, waktu mereka pun banyak dihabiskan untuk urusan di luar perkuliahan. Lalu tugas mengajarnya dilimpahkan ke asisten dosen. Sehingga tak akan sempat memberi perhatian intens kepada setiap mahasiswa di kelas.

“Saya yakin dua ribu persen nggak akan perhatikan mahasiswa secara penuh. Nggak sempat memikirkan detail satu per satu mahasiswa,” katanya. Tentu, bila ada mahasiswa yang menggunakan jasa joki untuk tugas dari dosen senior seperti itu, maka dijamin tidak akan kepergok.

Namun, Probo sempat tahu kasus serupa yang pernah terjadi beberapa tahun lalu. Saat dirinya masih mahasiswa, ada seorang mahasiswa lain yang ketahuan menggunakan jasa joki untuk mengerjakan tugas. Yang bersangkutan lantas disidang di Komite Etik kampus.

Dari sidang itu dikeluarkan surat rekomendasi ke pihak dekan bidang akademik. Diproses untuk diberikan sanksi. “Waktu itu tidak sampai diskors, tapi diberi nilai E untuk mata kuliah tersebut, jadi si mahasiswa harus ngulang semester berikutnya,” tutur Probo.

Cara berbeda disampaikan oleh A.A.I Prihandari Satvikadewi. Dosen Ilmu Komunikasi Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya itu justru menyarankan para mahasiswa untuk memanfaatkan platform Artificial Intelligence (AI). Tentu tetap dalam batas yang diperkenankan.

“Karena sekarang Scopus juga resmi mengizinkan penggunaan AI, punya alat untuk menguji seberapa batasannya,” terang alumnus Universitas Airlangga itu. AI pun bisa dimanfaatkan untuk mendeteksi apakah suatu karya tergolong plagiasi atau tidak.

Dewi tak segan memberi tips kepada para mahasiswanyi untuk memanfaatkan AI. Bahwa AI tak menjamin kebenaran sebuah tulisan. Apalagi, tulisan hasil AI juga sangat mudah dikenali. Mudah dibedakan antara tulisan robot dan manusia.

Yang diperlukan mahasiswa adalah menjadikan AI sebagai asisten mereka. Hal itu lebih bertanggungjawab ketimbang menggunakan jasa para joki. Bahkan, biayanya jauh lebih murah karena umumnya platform AI bisa diakses gratis.

Dia pun menyadari bahwa generasi sekarang punya keterbatasan dalam berekspresi lewat tulisan. Itu fakta yang harus dihadapi oleh semua pihak. “Jadi, kami arahkan untuk mencari banyak referensi lewat AI. Nanti diolah sendiri, itu bisa membantu pekerjaan mereka,” terangyi.

Para mahasiswa pun merasakan kemudahan dalam mengerjakan tugas. Setidaknya, tidak melimpahkan tanggung jawab dan pekerjaan mereka kepada para joki. Etos dan etika mereka juga tetap terjaga.


Ilustrasi sindikat bisnis joki tugas yang kian marak di era media sosial.--Gencraft

Dewi menilai tidak adil bila dosen terpaku melarang mahasiswa menggunakan joki tanpa memberi solusi. Maka kampus dan dosen harus belajar adaptasi dengan AI. 

Lantas bagaimana dengan penilaian terhadap hasil karya kolaborasi AI? Dewi sudah menyediakan alat bantu untuk mendeteksi seberapa besar kemiripan karya tersebut. 

“Dari situ kami bisa menentukan range nilainya. Misalnya, kemiripan lebih dari 25 persen, ya otomatis nggak bisa sebagus lainnya yang di bawah itu,” tukasnyi. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: