Gen Z yang Pemberang

Gen Z yang Pemberang

ILUSTRASI gen Z yang pemberang.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Maka, pihak keluarga Alya melaporkan Bintang ke polisi. Kemudian, polisi mempelajari materi kasus, mengumpulkan bukti dan saksi. Polisi menyimpulkan, itu perkara pidana. Selasa, 20 Agustus 2024, Bintang ditangkap di rumah ortunya di Ciledug, lalu diperiksa. Akhirnya ia ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan.

Bintang disangkakan melanggar pasal 351 ayat 1 dengan ancaman hukuman 2 tahun 8 bulan penjara. Penyidik mengatakan, tersangka ditahan meski ancaman hukuman di bawah lima tahun penjara. Sebab, berdasar Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), penahanan tersangka ditentukan subjektivitas penyidik. Dalam hal ini, penyidik menilai tersangka perlu ditahan.

Alya kepada pers mengatakan, dia sudah dua kali itu dianiaya Bintang. Pertama terjadi tahun lalu, tapi dia tidak lapor polisi. ”Kejadian itu penganiayaan kedua. Sudah diupayakan keluarga saya untuk damai, tapi ia malah begitu,” ujar Alya.

Dari kejadian tersebut, Alya tergolong berani melaporkan Bintang ke polisi. Tampak, Bintang sudah dua kali menganiaya Alya, bahkan hendak memolisikan Alya yang menyebarkan video CCTV di lift hotel itu. Umumnya, anak perempuan tidak berani menghadapi anak laki-laki berkarakter penyerang seperti itu.

Dikutip dari American Psychological Association, 6 Februari 2017, berjudul Violence in Relationships: Love Shouldn’t Hurt, disebutkan, cinta tidak menyakiti. Jika ada pasangan intim yang salah satunya bersikap tidak hormat terhadap yang lain, apalagi sampai menyakiti, itu namanya bukan cinta.

Disebutkan, meski simpulan di atas tampak sederhana dan logis, tapi bagi sebagian besar pasangan intim dewasa muda, simpulan tersebut kurang dipahami. Malah sebagian besar korban penganiayaan menganggap bahwa penganiayaan adalah tanda cinta penganiaya terhadap pasangan yang dianiaya.

Terutama, buat orang dewasa muda yang suka pada puisi yang menyatakan bahwa inti cinta adalah pengorbanan. Kalau tidak mau berkorban, jangan bercinta.

Puisi cinta itu membius. Tapi, ditafsirkan secara salah oleh remaja dan orang dewasa muda. Memang benar, inti cinta adalah pengorbanan. Tapi, sebagaimana judul esai American Psychological Association itu, cinta tidak menyakiti.

Digambarkan sebuah ilustrasi, begini:

Tony dan Emily telah berpacaran selama beberapa pekan. Tony kemudian bersikap seolah Emily adalah miliknya. Apa pun yang dilakukan Emily harus sesuai dengan kehendak Tony. Sebab, Tony mencintai Emily.

Maka, hari-hari Emily harus sesuai dengan keinginan Tony karena Tony merasa memiliki Emily. Tony merasa berhak 100 persen atas semua kegiatan hidup Emily. Seolah Emily adalah benda mainan milik Tony.

Kondisi itu terasa menyiksa buat Emily. Sebab, dia dilarang Tony bergaul dengan teman-teman semasa kuliah. Ketika secara tak sengaja Emily ketemu teman lama dan ngobrol, kemudian ketahuan Tony, Tony bakal memarahi Emily. Sebab, kata Tony, Emily adalah miliknya sepenuhnya. Dasar kepemilikan itu adalah Tony mencintai Emily.

Akibatnya, Emily selalu berkorban. Emily tidak berani mengeluh kepada keluarga. Sebab, dia tahu bahwa dia adalah milik Tony. Emily beranggapan bahwa inti cinta adalah pengorbanan. Dia pun rela berkorban perasaan demi cinta.

American Psychology Associaton menyatakan, sikap Tony itu adalah posesif. Sikap itu bukan cinta. Melainkan pelecehan. Dan, itu adalah masalah besar. Tidak seorang pun di dunia ini boleh memiliki hidup orang lain. Sebab, kepemilikan seseorang terhadap hidup orang lain, meskipun itu adalah pasangan intim, termasuk suami istri, itu berarti merampas hak hidup orang yang dimiliki. Hidup manusia cuma milik Allah. Bukan milik manusia lain.

Di situ diungkap ilustrasi kalimat berentet untuk memperjelas teori psikologi yang diterapkan, begini:

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: