Senja Kala Kelas Menengah, Alarm Kontraksi Ekonomi Global
ILUSTRASI senja kala kelas menengah adalah alarm kontraksi ekonomi global.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
Lebih ironis lagi adalah bonus yang biasanya diterima kelas menengah Tiongkok telah terkoreksi lebih jauh, terutama di sektor internet dan telekomunikasi, telah menurun drastis sebesar 27 persen, dan lebih jauh lagi di sektor keuangan, 35 persen.
Namun, pergerakan demografi akibat dampak pandemi Covid-19 itu mungkin hanya akan sementara. Setelah ekonomi dalam fase pemulihan, jumlah kelas menengah akan bergerak tumbuh.
Berdasar studi terbaru Bloomberg, jumlah masyarakat kelas menengah di dunia dengan pengeluaran per kapita USD 11–USD 110 per hari akan mencapai 3,75 miliar pada 2022–2024. Kelompok kelas menengah itu diprediksi akan terus tumbuh hingga 2030.
Word Data Lab memproyeksi kontributor terbesar pertumbuhan kelas menengah di dunia dalam satu dekade mendatang masih didominasi dari negara-negara Asia dengan populasi penduduk terbesar, yakni Tiongkok dan India, yang diramalkan akan menambah sekitar tiga perempat miliar anggota kelas menengah dunia.
Akan tetapi, premis itu diragukan banyak pihak karena situasi ekonomi global masih dalam fase high turbulence.
BAGAIMANA DENGAN INDONESIA?
Bank Dunia sendiri telah melakukan riset dan menyimpulkan bahwa satu dari lima masyarakat Indonesia adalah kelompok kelas menengah (laporan Bank Dunia: Aspiring Indonesian-Expanding the Middle Class, 2020).
Bank Dunia juga mengidentifikasi lima kelas masyarakat yang didasari pada perilaku konsumsi yang berbeda di Indonesia. Terdiri atas kelompok miskin, rentan, menuju kelas menengah, kelas menengah, dan kelas atas.
Konsumsi kelompok itu tumbuh 12 persen setiap tahun sejak 2002. Hampir setengah atau 47 persen dari seluruh konsumsi rumah tangga Indonesia berasal dari kelompok kelas menengah tersebut.
Dalam laporan Indonesia Economic Outlook Triwulan III 2024, Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) mengelompokkan kelas menengah sebagai penduduk yang memiliki peluang kurang dari 10 persen menjadi miskin atau rentan di masa depan berdasar tingkat konsumsinya saat ini.
Berdasar definisi tersebut, LPEM FEB UI mengalkulasikan jumlah kelas menengah di Indonesia berdasar garis kemiskinan tingkat kabupaten/kota. Hasilnya, jumlah kelas menengah sempat meningkat tajam dari 2014 hingga 2018: dari 21 juta (15,6 persen jumlah penduduk) menjadi 60 juta jiwa (23 persen jumlah penduduk).
Meski demikian, setelah 2018, yang terjadi malah sebaliknya. Terjadi penurunan karena pandemi Covid-19. Walaupun cenderung aman secara ekonomi, sebagian dari mereka masih menghadapi berbagai jenis kemiskinan nonmoneter seperti minimnya hunian yang layak.
Mereka juga masih menghadapi kemungkinan untuk turun kelas. Penyebabnya, setengah dari rumah tangga kelas menengah bawah diperkirakan tidak memiliki akses air minum dan akses sanitasi.
Terlebih, dalam kurun enam tahun terakhir, porsi penduduk kelas menengah menurun hingga lebih 8,5 juta jiwa seiring dengan pelemahan pertumbuhan ekonomi.
Kelas menengah memegang peran yang sangat penting bagi penerimaan negara lantaran menyumbang 50,7 persen dari penerimaan pajak dan calon kelas menengah menyumbang 34,5 persen.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: