Esoterisme Agama dan Asuransi Politik

Esoterisme Agama dan Asuransi Politik

ILUSTRASI esoterisme agama dan asuransi politik. -Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Padahal, kalau menyadari tentang semua yang ada di dunia ini adalah memang ketidakpastian. Lalu, layakkah manusia berharap pada ketidakpastian?

Untuk mengantisipasi manusia agar tidak mengalami kekecewaan yang kadang berdampak buruk pada keberlangsungan hidupnya, penting ditanamkan kesadaran yang berbasis transendental Ilahi. 

Ini adalah bagian dari esoterisme agama, dan kesadaran macam ini memberikan ketenangan batin dan secara spiritual menyerahkan sepenuhnya segala urusan kepada Zat Yang Maha Pasti.

Urusan politik, pekerjaan, masa depan, dan semua hal didasarkan pada kepastian yang bersumber dari Ilahi karena yang bersumber dari manusia itu bersifat ketidakpastian dan itu juga manusiawi karena dalam teks agama dinyatakan al-insan mahallul khatha’ wan nisyan. Artinya, manusia tempatnya salah dan lupa. 

Seorang filsuf Stoik Yunani-Romawi, Epictetus, juga menekankan pentingnya menjaga ketenangan pikiran dan kebijaksanaan dalam menghadapi ketidakpastian dalam berbagai hal di tengah kehidupan yang dijalani umat manusia.

Realitas ketidakpastian yang dialami seseorang yang awalnya diyakini sebagai kepastian akan ternetralkan dengan kesadaran transendental Ilahi bahwa yang bisa memberikan kepastian dalam berbagai hal, baik urusan di dunia saat ini maupun urusan di akhirat kelak, hanya Ilahi, Tuhan Semesta Alam. 

Manusia sebagai makhluk tidak memiliki sifat seperti yang dimiliki Tuhan. Maka, jangan dijadikan sandaran-sandaran akan harapan yang berlebihan, biasa saja dalam menyikapi dan sewajarnya saja seandainya berharap. 

Tidak perlu harapan itu dikunci dalam pikiran agar tidak menjadi beban psikologis yang berdampak stres dan situasi kejiwaan yang negatif. 

Dalam konteks perpolitikan, ketika seorang pimpinan akan menyiapkan jajaran yang akan mendampingi kepemimpinannya, diperlukan sikap bijaksana. Juga, tidak memberikan janji dan harapan kepada pihak lain yang dimungkinkan akan terjadi perubahan atau ketidakpastian karena suatu hal atau hal lain. 

Sebab, apabila memberikan harapan-harapan atau bahkan janji-janji yang akhirnya tidak dapat dipenuhi, itu akan menjerat psikologisnya sendiri dan membuat situasi hubungan sosial tidak nyaman.  

Demikian pula, seseorang tidak perlu berharap berlebihan terkait posisi atau existing dan masa depannya. Semuanya biarlah mengalir saja seraya berserah diri kepada-Nya agar kelak ketika mengalami ketidakpastian atau harapan yang tidak sesuai dengan yang dikehendaki tidak mengalami kekecewaan. 

Apalagi, urusan politik bersifat dinamis dan bisa berubah setiap saat, bergantung pada situasi dan faktor-faktor lain yang menyertai. 

Sebagai ilustrasi, dalam kabinet yang akan dibentuk, siapa yang akan masuk kabinet dan siapa yang memberikan rekomendasi tidak perlu bersifat transaksional. Boleh memberikan masukan, akan tetapi tidak mengintervensi, memberikan kesempatan kepada pimpinan untuk berijtihad dan beristikharah (memohon petunjuk untuk memilih dan menentukan pilihan orang-orang yang akan mendampingi). 

Di sanalah semua pihak perlu menunjukkan sikap bijaksana sesuai posisi dan kapasitas masing-masing agar tidak sampai ada pihak yang mengalami kekecewaan politik dalam berbagai lini. (*)


*) Muhammad Turhan Yani adalah guru besar Fisipol, kepala LPPM Universitas Negeri Surabaya, dan ketua Komisi Pendidikan MUI Provinsi Jawa Timur

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: