Diktator
ILUSTRASI diktator di seluruh dunia.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
Mereka tak segan menekuk lawan-lawan politiknya dan menciptakan sistem hukum yang ada demi melanggengkan kekuasan. Sekalipun menerapkan demokrasi, penerapannya hanya semu. Bahkan, oposisi mampu dikendalikan dan dikerdilkan.
Mikal Hem meledek para diktator dengan gaya satire politik yang tajam tapi lucu. Bab pertama di bukunya berjudul Keuntungan Jadi Diktator, seolah menjadi diktator sama dengan menjadi sales real estat.
Salah satu benefit diktator adalah awetnya kekuasaan. Cara mengawetkan kekuasaan bukan dengan balsam atau mumi atau direndam di air, melainkan dengan mengakali undang-undang supaya kekuasaannya bisa diperpanjang lebih dari periode yang sudah ditulis dalam konstitusi.
Salah satu resep menjadi diktator adalah meminta bantuan gratis dari Amerika, baik bantuan uang maupun peralatan. Password yang manjur untuk membuka pundi-pundi dari Amerika adalah ”komunisme”.
Ketika Perang Dingin sangat marak pada 1960-an, Amerika sangat loman mengucurkan bantuannya kepada pemimpin militer yang menjual proposal untuk menumpas komunisme.
Jenderal Soeharto dari Indonesia masuk kategori itu. Jenderal Augusto Pinochet di Cile juga masuk kategori tersebut. Mereka menjadi diktator selama puluhan tahun atas restu dan dukungan Amerika, dan cukup dengan menggunakan password komunisme.
Zaman sudah berubah. Diktator semacam Pinochet dan Soeharto sudah tidak laku lagi. Tiap zaman ada orangnya dan tiap orang ada zamannya. Pembunuhan melalui operasi intelijen dan militer dengan bantuan CIA sudah tidak musim lagi.
Tapi, tidak berarti jalan menuju kediktatoran sudah tertutup. Jalan itu masih terbuka, tapi password berubah. Bukan komunisme, melainkan ”demokrasi dan pemilu”.
Pemilu demokratis adalah token ajaib yang bisa membawa seseorang menjadi diktator. Memang ironis, menjadi diktator melalui pemilu. Namun, itulah kenyataannya. Banyak diktator yang melaksanakan pemilu prosedural atau pseudo-pemilu sebagai jalan melanggengkan kekuasaan.
Pemilu dilaksanakan sesuai prosedur, tetapi semua perangkat sudah diatur dan dana besar sudah disiapkan untuk membeli suara (vote buying). Rakyat dibuai dengan program bantuan sosial yang menggerojok seperti gentong babi.
Bantuknya bisa bansos dan berbagai jenis bantuan lainnya. ”Kalau kau melakukannya dengan benar dan mendapatkan hasil yang kau inginkan tanpa banyak kehebohan, pemilu akan menambah legitimasimu,” tulis Hem.
Hem memberikan tips and tricks cara mencurangi pemilu. Salah satu caranya adalah ”ballot stuffing” atau mencurangi kotak suara. Hal itu bisa mudah dilakukan kalau pelaksana pemilu seperti KPU (Komisi Pemilihan Umum) di Indonesia sudah dipilih dari orang-orang yang gampang diatur.
Contohnya Putin di Rusia. Dalam Pilpres 2012, di dapil Grozny, ia mendulang 1.482 suara. Padahal, dapil itu hanya terdiri atas 1.389 pemilih. Artinya, Putin menang 107 persen di sana.
Sound familiar? Kayaknya pernah dengar? Betul. Pilpres di Indonesia pada 2024 bukan hanya 107 persen, melainkan ada yang sampai 1.500 persen. Lebih ajaib lagi, ada pemilih hantu, sudah meninggal tapi masih terdaftar sebagai pemilih. Cerita horor itu hanya terjadi di negeri Konoha.
Pemilu jujur saja tidak bikin pesaing puas, apalagi yang curang. Amerika seharusnya menjadi contoh demokrasi yang baik seperti yang selama ini digembar-gemborkan. Tapi, lihatlah Pilpres 2019 antara Joe Biden vs Donald Trump.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: