Absennya Isu Lingkungan dalam Pilgub Jatim
ILUSTRASI absennya isu lingkungan dalam Pemilihan Gubernur Jawa Timur 2024. Padahal, lingkungan adalah permasalahan yang krusial dan urgen. Contohnya, darurat sampah, perubahan iklim, dan ketahanan pangan.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
Masalah lingkungan di Jawa Timur tidak berhenti pada sampah dan deforestasi. Krisis air yang makin mengkhawatirkan, degradasi ekosistem pesisir, serta tata ruang yang tidak berkelanjutan juga harus menjadi perhatian utama.
Pengelolaan air yang buruk mengakibatkan penurunan kualitas dan kuantitas sumber daya air, yang berdampak pada ketahanan pangan dan kesehatan masyarakat. Di sisi lain, tata ruang yang tidak sinkron dengan prinsip-prinsip keberlanjutan mengakibatkan banyak lahan yang memiliki peruntukan ganda atau tumpang tindih, memicu kerusakan ekosistem lebih lanjut.
Ketidakteraturan itu tidak hanya merusak lingkungan alam, tetapi juga memengaruhi stabilitas ekonomi dan sosial masyarakat di kawasan terdampak.
Kegagalan dalam menyelaraskan pertumbuhan ekonomi dengan kelestarian lingkungan hanya akan memperparah kondisi hidup di Jawa Timur dalam jangka panjang. Pemerintah daerah dan para pemimpin politik di tingkat provinsi harus segera mengambil langkah-langkah nyata untuk menangani permasalahan itu sebelum dampaknya makin luas.
KOMITMEN YANG DIBUTUHKAN
Di tengah kerusakan lingkungan yang kian parah di Jawa Timur, kita membutuhkan komitmen nyata dari para calon kepala daerah. Tidak cukup hanya dengan janji-janji politik yang bersifat abstrak dan tidak jelas implementasinya. Komitmen terhadap isu lingkungan harus tecermin dalam kebijakan yang konkret dan berorientasi jangka panjang, dengan peta jalan yang jelas dan dapat diukur.
Salah satu langkah kebijakan yang perlu diprioritaskan adalah pengelolaan sumber daya alam berbasis kesejahteraan komunitas. Ostrom (1990) dalam bukunya, Governing the Commons, menegaskan bahwa tata kelola sumber daya alam yang bijaksana harus melibatkan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya.
Program perhutanan sosial yang pernah dicanangkan selama kepemimpinan Khofifah adalah contoh yang baik. Meski, implementasinya masih jauh dari optimal. Kebijakan itu perlu diarahkan untuk tidak hanya menjaga kelestarian hutan, tetapi juga memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat setempat.
Selain itu, kebijakan transisi energi dan pengelolaan sampah juga harus menjadi prioritas utama. Jawa Timur hingga kini belum memiliki langkah-langkah konkret untuk mempercepat transisi energi menuju energi terbarukan di tingkat komunitas.
Pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH) yang ada belum didukung secara optimal, dengan banyak pengelola yang mengeluhkan kurangnya pembiayaan dan penurunan debit air akibat deforestasi di daerah sekitarnya.
Sementara itu, pengurangan timbulan sampah di tingkat rumah tangga juga belum berjalan efektif karena minimnya fasilitas seperti tempat pengelolaan sampah terpadu (TPST) dan kurangnya intervensi kebijakan di sektor industri untuk mengurangi produksi sampah.
Jawa Timur membutuhkan rancangan kebijakan yang menyeluruh dan komprehensif untuk menangani berbagai persoalan lingkungan hidup yang makin mengkhawatirkan.
Krisis lingkungan di provinsi ini sudah mencapai titik kritis dan hanya dengan komitmen serta keberanian politik dari para pemimpin kita dapat membuat perubahan nyata.
Pilkada 2024 harus menjadi momentum untuk mengedepankan isu lingkungan hidup, bukan hanya sebagai wacana politik, tetapi sebagai prioritas yang diimplementasikan melalui kebijakan konkret dan berorientasi pada keberlanjutan. (*)
*) Wahyu Eka Styawan adalah direktur WALHI Jawa Timur
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: