Melihat Kembali Sejarah Seni Rupa sebagai Media Perlawanan

Melihat Kembali Sejarah Seni Rupa sebagai Media Perlawanan

Karya seni Bansky yang tampak sederhana, namun menyiratkan pesan mendalam untuk perdamaian.-sugesstive.mobi-sugesstive.mobi

Dengan berkembangnya era digital, seni sebagai alat perlawanan semakin meluas. Media sosial memungkinkan karya seni untuk menyebar dengan cepat dan menjangkau audiens global. Misalnya, perlawanan lewat seni ketika terjadi Black Lives Matter di Amerika Serikat.

Seni digital dan meme digunakan untuk menyuarakan perlawanan terhadap rasisme sistemik tersebut. Seniman di platform seperti Instagram dan Twitter menciptakan visual yang memperlihatkan brutalitas polisi, rasisme, dan kekerasan yang dihadapi oleh komunitas kulit hitam.

BACA JUGA:Gelar Pameran Lukisan Art for Nature, ACI dan Wisma Jerman Kolaborasikan Seni dan Lingkungan untuk Masa Depan Hijau

BACA JUGA:Bincang Santai di Gereja Katolik Redemptor Mundi, Membahas Perbedaan dan Keberagaman dalam Bingkai Seni

Di Hong Kong, selama protes demokrasi pada tahun 2019, karya seni jalanan, poster, dan visual digital juga berperan penting dalam menggerakkan masyarakat.

Be Water, moto dari pergerakan tersebut, menginspirasi karya-karya seni yang penuh dengan simbolisme air, fleksibilitas, dan ketahanan, menyoroti ketidakpuasan warga terhadap pemerintah Tiongkok.

Sebagai media perlawanan, karya seni rupa memberi daya gugah pada siapa saja. Terutama pada para pemangku kebijakan atau rezim yang otoriter. Visual pun bisa membawa perubahan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: