Tantangan Internalisasi Nilai-Nilai Moderasi Beragama
ILUSTRASI tantangan internalisasi nilai-nilai moderasi beragama. -Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
TANTANGAN MODERASI BERAGAMA
Penyemaian nilai-nilai moderasi beragama kini mulai menghadapi tantangan. Sebagian pihak mencurigai program moderasi beragama sebagai bentuk pendangkalan akidah umat.
Apalagi, secara demonstratif, publik acap kali menyaksikan kelompok-kelompok keagamaan tertentu menunjukkan praktik sinkretisme melalui ritual lintas agama di gereja dan tempat ibadah lainnya.
Sebagian lagi memahami moderasi beragama layaknya ideologi sekularisme, pluralisme, dan liberalisme. Mereka umumnya menyebut tiga ideologi itu dengan ”sipilis”.
Sebutan sipilis mengandung pesan agar umat memosisikan ideologi sekularisme, pluralisme, dan liberalisme layaknya penyakit berbahaya.
Padahal, secara akademik, tiga ideologi ini bermakna jamak. Nurcholis Madjid (Cak Nur), misalnya, memaknai sekularisme dalam perspektif lebih sosiologis. Sekularisme tidak semata bermakna pemisahan urusan akhirat (sacred) dan dunia (profan).
Bagi Cak Nur, sekularisme merupakan paham yang mengajarkan pentingnya membedakan urusan akhirat (sacred) dan dunia (profan). Pilihan kata ”membedakan” tentu sangat penting karena berbeda dengan ”memisahkan”.
Dengan kerangka pikir itu, Cak Nur melontarkan pernyataan: Islam Yes, Partai Islam No!. Pernyataan Cak Nur merupakan hasil amatan sosiologis yang menggambarkan performa elite partai Islam.
Mereka hanya menjadikan Islam sebagai simbol perjuangan politik. Faktanya, perilaku politiknya masih jauh dari nilai-nilai moral keislaman.
Kata pluralisme juga sering diartikan paham yang mengajarkan semua agama sama dan benar. Bahkan, ada yang menyamakan pluralisme dengan relativisme dan nihilisme.
Pemahaman itu berbeda dengan Diana L. Eck dalam bukunya, What is Pluralism (1993). Buku itu menegaskan bahwa pluralisme berbeda dengan relativisme dan toleransi pasif.
Pluralisme adalah pencarian yang aktif untuk memahami perbedaan. Pluralisme juga menekankan pentingnya dialog yang tulus dan nir-kekerasan sehingga menghadirkan komitmen untuk berbagi pengalaman, saling mengkritik, dan bersedia dikritik.
Sementara itu, liberalisme oleh para pengkritiknya dimaknai paham yang mengagungkan kebenaran akal dan mengabaikan wahyu. Padahal, liberalisme dalam pengertian yang lebih generik merupakan paham yang mengajarkan pentingnya penggunaan akal dalam memahami ajaran agama.
Pemaknaan itu penting karena sejatinya tidak ada aliran dalam tradisi keagamaan apa pun yang tidak menggunakan akal dalam memahami ajaran agama. Yang membedakan adalah kadar penggunaan akal dalam memahami wahyu.
PENTINGNYA MODERASI BERAGAMA
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: