Tantangan Internalisasi Nilai-Nilai Moderasi Beragama
ILUSTRASI tantangan internalisasi nilai-nilai moderasi beragama. -Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
Meski secara konseptual baik, dalam banyak kasus penanganan radikalisme dan terorisme, aparat keamanan sering kali menggunakan pendekatan kekuasaan dan kekerasan. Ironinya, tindakan kekerasan terhadap terduga teroris sering dilakukan aparat keamanan di depan keluarganya.
Perlakuan itu pasti menghadirkan trauma mendalam, bahkan sangat mungkin dendam kesumat dari keluarga terduga teroris. Implementasi program deradikalisasi pun terkesan abai dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Pada konteks itulah, pendekatan moderasi beragama penting dijadikan alternatif. Pendekatan moderasi dinilai lebih manusiawi karena tidak memosisikan sasaran program terstigma radikal, teroris, dan ekstremis.
Dalam implementasinya, moderasi beragama juga mengedepankan jalan dialog. Dengan cara itu, penanggulangan terorisme diharapkan tidak kontraproduktif, bahkan melahirkan radikalisme baru.
Apalagi, faktanya, program deradikalisasi belum mampu menyelesaikan problem radikalisme secara mendasar dan komprehensif. Yang terjadi justru adanya peningkatan kasus radikalisme.
Program deradikalisasi juga berpotensi untuk memosisikan sasaran kegiatan sebagai orang atau kelompok yang terpapar paham radikal. Stigma itu jelas tidak menguntungkan bagi mereka yang mengikuti program deradikalisasi.
Karena itulah, kritik terhadap program deradikalisasi terus disuarakan berbagai kelompok. Harapannya, ada perubahan pendekatan penanganan radikalisme dari deradikalisasi ke moderasi.
Dorongan untuk menjadikan moderasi sebagai alternatif mengonter radikalisme atau ekstremisme terus menguat. Dalam konteks kajian Islam, konsep moderasi dikaitkan dengan wasathiyah.
Hashim Kamali dalam The Middle Path of Moderation in Islam (2015), menyebut konsep wasathiyah dalam Al-Qur’an sebagai spirit moderasi dalam beragama, baik berkaitan dengan pemikiran, sikap, maupun perbuatan.
Wasathiyah Islam juga lazim digunakan di negara-negara minoritas muslim untuk menyebut posisi pertengahan di antara dua ekstremitas. Secara terminologi, moderasi berarti jalan tengah (middle path), sesuatu yang ada di tengah dari dua sifat buruk.
Dapat dicontohkan, sifat berani dipandang baik karena berada di antara karakter ceroboh dan takut.
Demikian juga sifat dermawan merupakan akhlak terpuji karena berada di antara karakter boros dan kikir. Dalam konteks praktik keagamaan, moderasi bermakna pemikiran, sikap, dan perilaku beragama dengan cara mengambil posisi pertengahan.
John L Esposito dalam What Everyone Needs to Know About Islam (2011), menipologikan muslim moderat dengan karakter progresif atau liberal. Muslim moderat dibedakan dari muslim konservatif, tradisionalis, dan fundamentalis.
Berbagai pandangan itu menegaskan bahwa moderasi beragama dapat menjadikan pemeluknya terhindar dari sikap ekstrem dan berlebih-lebihan dalam menjalankan ajaran agama. Al-Qur’an secara tegas melarang sikap berlebih-lebihan atau ekstrem dalam beragama (QS. Al-Nisa’:171 dan Al-Maidah:77).
Nabi Muhammad SAW juga bersabda, ”Jauhkanlah diri kalian dari berlebih-lebihan (ghuluw) dalam beragama karena sesungguhnya sikap ghuluw telah membinasakan orang-orang sebelum kalian.” (H.R. An-Nasa’i dan Ibnu Majah).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: