Menatap Industri Hasil Tembakau di Era Presiden Baru

Menatap Industri Hasil Tembakau di Era Presiden Baru

ILUSTRASI menatap industri hasil tembakau di era presiden baru.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Kemudian, Astacita nomor 5, yaitu Hilirisasi dan industrialisasi. Menurut Sekjen Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) K. Mudi, IHT itu menyerap ratusan ribu ton tembakau yang dihasilkan sekitar 2,5 juta petani tembakau. 

Lalu, Astacita nomor 6, yakni membangun dari desa dan dari bawah. Sudah menjadi fakta bahwa petani tembakau sering kali berasal dari lahan marginal dan daerah yang tidak subur atau kekurangan air. 

Contohnya, Madura, Lombok, sebagian besar Jawa Timur dan Jawa Tengah mulai Blora, Purwodadi, Gunungkidul, Wonogiri, Temanggung, dan Wonosobo. Bahkan, desa-desa penghasil tembakau biasanya memiliki peringkat 10 kabupaten kota termiskin di masing-masing provinsinya. 

Bila melihat dari daerah pabrik rokok berasal, rata-rata berada di daerah dan menjadi penopang ekonomi dari kabupaten kota tersebut.

Presiden dan wakil presiden terpilih pun juga mempunyai Astacita nomor 4, yaitu memperkuat pembangunan SDM, sains teknologi, pendidikan, dan kesehatan. Itu juga penting karena IHT selalu bertentangan dengan isu kesehatan. 

Kementerian Kesehatan, menurut data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023, prevelansi perokok turun 1,7 persen dari data Riskesdas 2018, akan tetapi jumlah perokok dewasa berdasar Global Adult Tobacco Survey (GATS) 2021, terjadi penambahan jumlah dewasa sebanyak 8,8 juta orang dari kurun 2011–2021. 

Bahkan, menurut data Global Youth Tobacco Survey (GYTS) pada kurun 2016–2019, angka prevalensi perokok pada anak sekolah usia 13–15 tahun naik menjadi 19,2 persen. Itu merupakan sebuah tantangan tersendiri bagi kesehatan.

Begitu pentingnya saling keterkaitan isu industri hasil tembakau, penulis memiliki harapan bagi pemerintahan yang baru agar lebih berhati-hati dalam memutuskan kebijakan yang menentukan hidup matinya IHT. 

Ibarat dua sisi koin, isu kesehatan dan ekonomi akan selalu menjadi hal yang bertolak belakang. Meski demikian, alangkah indahnya jika setiap kebijakan bisa dirumuskan bersama-sama dan melibatkan kedua pihak, seperti para pendahulu kita yang selalu mengutamakan musyawarah untuk mencapai mufakat. (*)

*)Kukuh Dwi Kristianto adalah Pengurus Pusat Ikatan Alumni Universitas Airlangga.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: