Percepat Transisi Energi, Perusahaan Green Energy Didorong untuk IPO

Percepat Transisi Energi, Perusahaan Green Energy Didorong untuk IPO

Salah satu proyek PLTS yang dikerjakan PT Xurya-PT Xurya-

JAKARTA, HARIAN DISWAY – Transisi energi dari fosil ke green energy berjalan lambat. Salah satu penyebabnya adalah belum banyak investasi di bidang energi baru dan terbarukan. Sementara, perusahaan yang bergerak di bidang energi terbarukan (renewable energy) saat ini rata-rata mengalami kendala pada pendanaan.

Institute for Essential Services Reform (IESR), lembaga think tank yang fokus isu energi, kelistrikan, dan perubahan iklim, meminta pemerintah melakukan akselerasi terhadap transisi energi bersih tersebut. IESR meminta pemerintah mereformasi kebijakan ketenagalistrikan dan mengimplementasikan pendanaan Just Energy Transition Partnership (JETP). 

Salah satu solusi yang ditawarkan IESR adalah memberikan kemudahan bagi perusahaan renewable energy untuk masuk ke pasar modal melalui mekanisme penawaran saham perdana/initial public offering (IPO). Dengan begitu, perusahaan energi terbarukan akan mendapatkan pendanaan dari investor di bursa saham.

"Pembangkit listrik tenaga air (PLTA) dan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) membutuhkan investasi besar sehingga pada saat itu masih banyak dibiayai dari investasi asing. Kini mulai berkembang pemanfaatan sumber energi terbarukan lainnya seperti biogas, biomassa, surya, dan bayu," kata Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa.

BACA JUGA:Prabowo Bertemu Xi Jinping di Beijing, Ini Tujuh Kesepakatan Yang Ditandatangani

BACA JUGA:Menkopolhukam Tanggapi Video Dukungan Prabowo Pada Luthfi-Taj Yasin: Tak Ganggu Netralitas Kepala Negara

Di Indonesia, kata Fabby, mulai bermunculan perusahaan dalam negeri yang mengembangkan pembangkit energi terbarukan berskala kecil seperti surya, mikrohidro, minihidro, biogas, dan biomassa. Perusahaan dalam negeri juga melakukan investasi pembangkit energi terbarukan berskala besar seperti PLTP dan PLTA baik melalui pembiayaan perbankan maupun pasar modal.

"Ada range atau tingkatan yang berbeda-beda ketika bicara perusahaan energi terbarukan, dari sisi modal dan pendanaan serta dari sisi jenis maupun skala pembangkit yang dibangun. Untuk perusahaan dalam negeri sebetulnya juga sudah banyak yang menjadi pengembang listrik swasta (independent power producer/IPP)," tutur Fabby kepada media pada Minggu, 10 November 2024.


Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa--

Persoalan pendanaan memang masih menjadi isu besar dalam perkembangan renewable energy. IESR bersama Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) memberikan 5 rekomendasi jangka pendek untuk percepatan transisi energi berkeadilan kepada Pemerintahan Prabowo-Gibran. IESR dan ICEF merekomendasikan kebijakan sektor ketenagalistrikan sesuai dengan Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) dan mendorong pendanaan JETP.

Menurut Fabby, kendala pendanaan green energy salah satunya diatasi melalui pasar modal, dengan melakukan penawaran saham umum perdana (initial public offering/IPO). Namun, banyak persyaratan yang harus dipenuhi sehingga tidak semua perusahaan bisa masuk ke bursa efek. Menurutnya, untuk melantai di bursa, perusahaan energi terbarukan harus memiliki prospektus menarik baik dari sisi kinerja operasional maupun keuangan.

 "Misalnya perusahaan energi terbarukan ini memiliki 3 sampai 4 proyek, maka kita lihat bagaimana dengan investment return rate (IRR). Apakah memiliki kontrak jangka panjang. Apakah proyeknya tidak bermasalah, bagaimana rekam jejak dan kredibilitasnya.”

BACA JUGA:Lewat Pertunjukan Kesenian, KPU dan JTP Ajak Pemilih Tak Golput

BACA JUGA:Prabowo Bertemu Xi Jinping, Tegaskan Komitmen Kerja Sama Untuk Stabilitas Dunia

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: