Matinya Seorang Pelacur
ILUSTRASI seorang pelacur di Semarang mati karena dicekik pelanggannya, yaitu Eko Prasetyo, 22.. -Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
Sabtu sore, 9 November 2024, petugas hotel curiga karena Eko tidak balik. Maka, pintu kamar dibuka dengan kunci cadangan. Petugas hotel menemukan mayat Nadia sudah mulai bau bangkai. Petugas telepon polisi, yang segera melakukan olah TKP.
Kapolrestabes Semarang Kombes Irwan Anwar kepada wartawan mengatakan, polisi mendapati bekas cekikan di leher korban. Dompet dan HP korban hilang. Polisi melacak identitas korban, kemudian ketemu.
Identitas calon tersangka sudah jelas. Polisi langsung memburunya. Ke rumah Eko, ternyata sudah kabur. Cuma ada istri dan seorang anak Eko.
Kombes Irwan: ”Tersangka kami tangkap pada Minggu sekitar pukul 01.00 WIB di Terminal Boyolali. Ia sudah mau kabur lagi.”
Tersangka dijerat Pasal 338 KUHP, pembunuhan, dan Pasal 365 KUHP, pencurian. Ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara.
Begitu gampang pelacur dibunuh, begitu sepele penyebabnya. Sebab, pelacur pekerjaan hina. Konsumen sudah membeli dan merasa boleh melakukan apa pun terhadap pelacur.
Soal itu jadi topik debat di banyak negara. Di negara-negara Barat dulu pelacuran ilegal. Sebab, melanggar norma agama: perzinaan. Pelakunya (pelacur dan konsumen) jika ketahuan bisa dipenjara. Aturan hukum itu bertujuan memberikan efek jera buat pelaku dan calon pelaku. Tujuan akhir, tidak ada pelacuran di sana.
Namun, pelacuran adalah budaya purba. Sejak manusia purba. Laki-laki cenderung berhubungan seks dengan lebih dari satu perempuan di satu kurun waktu, dan kalau bisa seterusnya, selama masih hidup.
Maka, sesuai hukum ekonomi: Ada permintaan pasti bakal ada penawaran. Pelacuran transaksi seks. Sebagaimana peradaban modern, perkawinan, suami membayar seluruh kebutuhan hidup istri dan anak-anak mereka. Untuk berhubungan seks, pria harus membayar.
Dikutip dari The Independent, Senin, 14 Desember 2020, bertajuk Criminalising buying sex will harm vulnerable women, not help them, diungkapkan: Kriminalisasi pembelian seks akan merugikan perempuan yang jadi pelacur.
Maksudnya, dengan aturan hukum negara bahwa pelacuran adalah ilegal (mereka sebut kriminalisasi), merugikan pelacur. Sementara itu, pelacuran mustahil dihilangkan dari bumi akibat hasrat purba laki-laki. Di sanalah terjadi ketidakadilan.
Perempuan melacur karena kepepet ekonomi mencari nafkah, tidak mendapat keadilan. Semacam pedagang kaki lima di trotoar yang merampas hak pejalan kaki (ilegal) dan selalu dikejar-kejar satpol PP.
Di Inggris dulu pelacuran ilegal. Kemudian diubah pemerintah jadi legal. Kemudian, diupayakan parlemen agar jadi ilegal lagi. Bolak-balik terus.
Pertengahan Desember 2020, Dame Diana Johnson, anggota Parlemen Inggris dari Partai Buruh untuk Kingston Upon Hull Utara, mengajukan mosi ke parlemen agar mengkriminalisasi pembelian seks.
Undang-undang tersebut, yang lolos pembacaan pertamanya, juga berupaya mengkriminalisasi situs daring yang digunakan pekerja seks untuk mengiklankan pekerjaan mereka.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: