Hijab dan Komunikasi Politik
ILUSTRASI hijab dan komunikasi politik di pilkada Jatim 2024. Tiga cagub, semuanya, berhijab, tetapi dengan model berbeda. Mereka adalah Khofifah Indar Prawansa, Tri Rismaharini, dan Luluk Nur Hamidah. -Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
KHOFIFAH DAN GAYA HIJAB SEGI EMPAT
Khofifah Indar Parawansa, calon gubernur petahana, telah lama dikenal sebagai politikus andal yang terafiliasi dengan Nahdlatul Ulama (NU).
Mengenakan hijab segi empat, Khofifah mewakili sosok pemimpin religius yang memiliki ikatan kuat dengan kalangan konservatif dan dari kawasan perdesaan yang memandang gaya hijab segi empat sebagai simbol tradisi dan kesederhanaan.
Jika pemilih konservatif menerima Khofifah sebagai sosok pemimpin yang saleh dan memiliki kerendahan hati dan integritas moral (dominant reading), kalangan pemilih perkotaan menganggap gaya hijab itu terlalu tradisional meski mereka tetap menghargai gaya Khofifah yang mempertahankan akar budayanya (negotiated reading).
Meski demikian, para pemilih progresif bisa saja menilai gaya hijab itu sudah ketinggalan zaman dan mengisyaratkan kepemimpinan Khofifah yang terlalu status quo (oppositional reading).
KEKUATAN HIJAB DALAM POLITIK
Dalam Pemilihan Gubernur Jawa Timur 2024, hijab tidak hanya berhenti sebagai sebuah pilihan pribadi. Hijab dapat berubah menjadi sebuah alat komunikasi politik yang ampuh. Dari turban modern ala Luluk, hijab segi empat ala Khofifah, hingga hijab instan ala Risma, semuanya menjadi ajang kontestasi terkait kepemimpinan, identitas, dan kemajuan.
Ketika para pemilih mengurai pesan-pesan itu, hijab menjadi titik persinggungan antara budaya, agama, dan politik yang turut membentuk masa depan kepemimpinan perempuan di negara ini.
Unggulnya Khofifah dengan hijab segi empatnya merupakan cermin demografi pemilih di Jawa Timur yang rural dan konservatif dengan lebih dari 80 persen pemilih berada di wilayah perdesaan, sekaligus juga menegaskan masih kentalnya budaya pesantren di provinsi itu.
Hijab segi empat Khofifah tampaknya beresonansi erat dengan mayoritas pemilih muslim tradisional yang sebenarnya juga diperebutkan Luluk dan Risma.
Meski didukung PKB sebagai partai terkuat di Jatim, gaya turban Luluk yang modern dan progresif tampaknya belum berhasil menarik para pemilih rural konservatif.
Demikian juga dengan hijab instan Risma yang meski memiliki daya tarik bagi kaum pragmatis kelas pekerja, tampaknya, belum mampu menandingi nilai-nilai religi dan budaya tradisional yang dicitrakan Khofifah dengan hijab segi empatnya.
Dalam beberapa dekade, hijab segi empat dianggap bersifat everlasting, cocok digunakan dalam situasi formal maupun informal, bahkan hajatan! Citranya juga tidak terlalu kuno, tidak terlalu modern, dianggap tidak berlebihan dan lebih modis daripada jilbab instan.
Tidak heran bila jilbab segi empat selalu menjadi komoditas terlaris dalam penjualan pakaian. Persepsi itulah yang dimenangkan Khofifah ketika tanpa sadar mengirimkan pesan-pesan simbolis melalui gaya hijabnya. (*)
*)Titien Diah Soelistyarini adalah dosen Departemen Bahasa dan Sastra Inggris FIB, Unair.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: