Cerita Diaspora oleh I.G.A.K. Satrya Wibawa (2): Seperti Lesung Ketemu Alu

Cerita Diaspora oleh I.G.A.K. Satrya Wibawa (2): Seperti Lesung Ketemu Alu

Bersama Duta Besar Indonesia untuk Singapura Suryo Pratomo yang mengajarkan diplomasi tanpa basa-basi.--I.G.A.K Satrya Wibawa

Diberi tugas oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi sebagai Atase Pendidikan dan Kebudayaan di KBRI Singapura saya belajar bahwa menjadi diri sendiri itu penting. 

Singapura dalam banyak hak sesungguhnya tak banyak beda dengan Surabaya. Bukan hanya karena di antara 4 juta penduduknya ada 250 ribu warga Indonesia menetap. Bukan hanya karena setiap tahunnya, Singapura menerima sekitar 2,5 juta wisatawan Indonesia.

Tapi juga yang berkesan adalah bagaimana kedisiplinan Singapura bisa seiring sejalan dengan gaya kasual-informal yang mereka jalankan saat berinteraksi. 

BACA JUGA: Cerita Diaspora oleh I.G.A.K Satrya Wibawa (3): Belajar pada Sopir Bus

Ini menjadi penting buat saya, karena saya bukan tipe manusia penyuka formalitas. Bayangkan, saat berangkat ke Singapura saya hanya punya satu jas hitam. Itu karena dalam bayangan saya, Singapura panas, mengapa harus pakai jas, bukan.

Untunglah saat itu Duta Besar Indonesia untuk Singapura Suryo Pratomo adalah jurnalis yang pernah bekerja di tiga media nasional yakni Kompas, Media Indonesia, dan Metro TV. Jadi kurang lebih kami satu spesies lah. Dari beliau saya banyak belajar untuk diplomasi tanpa basa-basi. Bahkan sudah dimulai dengan memanggilnya hanya dengan “Mas Tommy”.

Tentang karakter itu, orang Singapura sendiri memang malah lebih suka dengan konsep smart casual daripada formal business yang harus pakai jas dan dasi. 

BACA JUGA: Cerita Diaspora dari Mohammad Rozi (3): Tinggalkan PNS Demi Better Job


Membacakan nota intervensi dan dukungan atas nota proposal yang diajukan G77 dan Tiongkok untuk perbaikan kesejahteraan guru di seluruh dunia.--I.G.A.K Satrya Wibawa

Dua hal yang sesungguhnya saya benci. Saya makin tahu bahwa dalam diplomasi people to people connection sering kali punya porsi penting dalam membangun government-government relation. Jadi bertugas di Singapura ini seperti istilah Jawa, lesung ketemu alu. Klop.

Itulah mengapa saya memilih gastroplomacy sebagai salah satu strategi saya untuk menjalankan program pemerintah Indonesia di Singapura. Gastroplomacy atau gastro-diplomacy adalah salah satu cara ampuh untuk dalam diplomasi internasional.

Seperti yang pernah saya terapkan untuk 25 orang mahasiswa Indonesia yang menjalani program Indonesia International Student Mobility Award (IISMA) di Nanyang Technological University (NTU) Singapura. 

BACA JUGA: Cerita Diaspora dari Marisa Tania (1): Ketika Hidup Tak Lurus-Lurus Saja, Dari Surabaya ke Silicon Valley

Untuk menarik perhatian dan menambah pengetahuan mengenai Indonesia dalam sebuah pameran pada Oktober 2023, mereka melakukan ”Diplomasi Lumpia”.

Sambil menawarkan makanan khas yang dikirim dari Semarang, mereka bisa menjelaskan tentang keberagaman Indonesia dapat terwakili dan dijelaskan melalui makanan, seperti sambal atau soto yang mewakili keunikan budaya Indonesia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: