Cerita Diaspora oleh I.G.A.K. Satrya Wibawa (2): Seperti Lesung Ketemu Alu

Bersama Duta Besar Indonesia untuk Singapura Suryo Pratomo yang mengajarkan diplomasi tanpa basa-basi.--I.G.A.K Satrya Wibawa
Kantin di KBRI Singapura yang berkonsep ala warung Tegal dengan ”touch screen” alias pesan menu dengan tunjuk jari ke masakan yang tersedia juga menjadi locus of diplomacy.
BACA JUGA: Cerita Diaspora dari Mohammad Rozi (1): Gurihnya Merintis Jualan Tempe di Inggris
I.G.A.K Satrya Wibawa (baju biru) dengan para mahasiswa IISMA di Nanyang Technological University (NTU) Singapura.--I.G.A.K Satrya Wibawa
Saya berbincang dengan mahasiswa, dengan partner universitas dari Singapura. Bahkan dengan diplomat dari Kementerian Luar Negeri atau Kementerian pendidikan.
Hasilnya, setelah ngobrol dengan salah satu petinggi Temasek Foundation sambil makan gado-gado, dia sepakat membiayai salah satu event seni Indonesia di salah satu universitas di Singapura.
Di Singapura pula saya banyak berinteraksi dengan diaspora Indonesia, terutama pelajar dan dosen yang tersebar di berbagai institusi ternama. Ada lebih kurang 10 ribu warga akademik Indonesia di Singapura. Mereka bukan hanya pengemban ilmu, tetapi duta tak resmi Indonesia di luar negeri.
BACA JUGA: Cerita Diaspora dari Marisa Tania (3): Jurnalis di Ujung Runway
Kami bekerja bersama membuat acara, diskusi, dan festival kecil. Di situlah saya merasakan: diplomasi bukanlah pekerjaan individu, melainkan jejaring empati dan kolaborasi.
Yang membuat saya senang bahwa hanya dengan Singapura, pemerintah Indonesia memiliki tradisi pertemuan rutin dua kepala pemerintahan setiap tahun berupa Leader’s Retreat yang dilaksanakan secara bergantian untuk membahas isu dan kerjasama dua negara.
Termasuk program konsorsium universitas di Indonesia dan Singapura serta kerja sama pertukaran mahasiswa magang antar kedua negara yang dilaksanakan pada 2024, juga lahir dari Leader’s Retreat tersebut.
BACA JUGA: Masjid Ikon Surabaya (6): Ajak Musafir Nyantri hingga Beri Beasiswa Pendidikan
Bersama para dubes ASEAN yang mengenakan pakaian nasional negara masing-masing, seusai Sidang Dewan Eksekutif. I.G.A.K Satrya Wibawa (kanan).--I.G.A.K Satrya Wibawa
Dari Surabaya ke Singapura, dari kampus ke forum internasional, saya belajar bahwa diplomasi budaya dan pendidikan bukanlah panggung eksklusif bagi negara.
Ia hidup lewat gerakan kecil: ketika siswa mengenal gamelan untuk pertama kalinya, ketika dosen diaspora menyusun riset bersama, atau ketika masyarakat adat mempertahankan tari dan tradisi mereka meski tak masuk kamera media.
Di tengah arus kesibukan kota dan formalitas diplomatik, saya simpulkan bahwa budaya bisa melampaui batas protokol. Itu jika kita cukup tulus membawanya. Kultur inilah yang berguna ketika saya menjalankan tugas sebagai Duta Besar/Wakil Delegasi Tetap RI untuk UNESCO di Paris.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: