Refleksi tentang Hubungan Indonesia dengan Tiongkok (1): Mozaik Peradaban Manusia dan Budaya

Buku berjudul Mengarungi Jejak Merajut Asa 75 Tahun Indonesia-Tiongkok; Dinamika Geopolitik, Ekonomi Global, dan Sosial Budaya. -Istimewa-
Indonesia dan Tiongkok, dua negara besar dengan sejarah panjang dan budaya yang beragam. Secara historis, Tiongkok memiliki pengaruh yang tidak sedikit dalam pembentukan Indonesia sebagai sebuah bangsa maupun negara. Pengaruh itu mencakup segi ekonomi, politik, maupun budaya.
Sesuatu yang tidak bisa dipungkiri karena Tiongkok sendiri merupakan salah satu negara paling berpengaruh di dunia. Saat ini, Tiongkok menjadi negara paling kuat di Asia dari sektor ekonomi. Bangsa Tiongkok dikenal memiliki peradaban berusia ribuan tahun sejak dulu telah termasyhur sebagai salah satu pusat peradaban kuno terbesar di dunia.
Hubungan resmi di antara kedua negara ini dimulai pada 9 Juni 1950. Saat itu, dua raksasa budaya dan peradaban di Asia ini memutuskan untuk saling merajut ikatan kerja sama yang bersejarah. Tentu ada pasang surut di antara hubungan kedua bangsa ini dalam sejarah perjalanannya, sebagaimana setiap bangsa pasti mengalami kecenderungan serupa.
BACA JUGA: Brand Baru Surabaya: Apa Selanjutnya?
Jauh sebelum Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, sudah terjalin hubungan diplomatis maupun perdagangan di antara Indonesia-Tiongkok. Salah satu catatan paling awal menyebut hubungan dagang antara para pedagang Tionghoa dan penduduk Nusantara terbentuk melalui jalur sutra dan perdagangan maritim pada masa Pra-Han.
Baik Tiongkok maupun Indonesia diwarnai oleh mozaik peradaban manusia dan budaya yang begitu kaya. Kita bisa dengan mudah menemukan kentalnya pengaruh kebudayaan dan kehidupan Tionghoa di sudut-sudut Jakarta, Medan, Surabaya, hingga Makassar.
Adalah fakta tak terbantahkan bahwa warisan Tionghoa telah menjadi bagian tak terpisahkan yang turut membentuk identitas Nusantara dewasa ini. Baik dari segi religi, seni, teknik bangunan, bahasa, hingga kuliner; ada begitu banyak pengaruh Tiongkok yang telah menyatu menjadi apa yang kita sebut dengan budaya Nusantara.
BACA JUGA: Pengorbanan Sebagai Puncak Penghambaan
Kepulauan Nusantara sudah dikenal oleh bangsa Tiongkok sejak zaman kuno dengan nama Nan Yang atau Lautan Selatan. Bandar-bandar besar seperti Wenzhou, Mingzhou, Mizhou, Quanzhou, Guangzhou, dan Hangzhou merupakan pusat perdagangan Tiongkok melalui jalur laut yang pada masa lalu memiliki peran krusial bagi perdagangan Tiongkok.
Guangzhou pada masa Dinasti Tang, misalnya, telah menjadi tempat perdagangan internasional terbesar termasuk dengan wilayah Nusantara (hal. 17).
Hubungan antara Indonesia dan Tiongkok sudah terjalin cukup lama baik dari sektor perdagangan maupun budaya. --
Perdagangan antara kedua wilayah ini memicu akulturasi, tidak hanya dalam bidang agama dan budaya tapi masakan. Orang Tiongkok memperkenalkan sayur asin, acar, kailan, pakcoy, sawi, dan sayur yang diawetkan.
BACA JUGA:Pengangguran Kian Meluas, Ekonomi Syariah Bisa Jadi Jalan Tengah
Sementara penduduk pribumi menyumbangkan aneka rempah dan bumbu tropis. Perpaduan keduanya menghasilkan kuliner baru yang belum pernah ada sebelumnya. Konon, orang Tionghoa zaman kuno datang ke Nusantara tanpa membawa istri mereka, melainkan membawa guci-guci berisi sayur asin, telur asin. Hal serupa dilakukan penduduk Indonesia modern yang kalau ke luar negeri biasa membawa sambal, kecap, dan mi instan.
Sebagaimana dikutip dari buku Peranakan Tionghoa dalam Kuliner Nusantara (Kompas Media Nusantara, 2013), disebutkan cerita populer bahwa saat pelayarannya, kapal-kapal utusan Kublai Khan menyediakan sudut kecil untuk menanam taoge. Ada juga perahu kecil khusus untuk pembuatan tahu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: dion yulianto