Aspek Dilematis Pemangkasan Anggaran

Aspek Dilematis Pemangkasan Anggaran

ILUSTRASI Aspek Dilematis Pemangkasan Anggaran. --

BACA JUGA:Pemisahan PUPR Era Prabowo, Anggaran Kementerian PU Turun Jadi Rp 110,95 Triliun

Pada aspek lebih luas, pemangkasan anggaran itu merupakan langkah realistis agar cakupan penggunaan APBN menjadi lebih tepat sasaran. Upaya pemangkasan anggaran pada dasarnya merupakan upaya realokasi, baik untuk mendanai program tertentu maupun untuk mendorong target yang lebih luas, seperti pertumbuhan ekonomi. 

 

TUNTUTAN BIROKRASI YANG EFISIEN

Pada 100 hari pertama Kabinet Merah Putih Prabowo-Gibran yang jatuh pada 31 Januari 2025, beberapa kebijakan telah dijalankan di sejumlah kementerian dan lembaga pada beberapa sektor. 

Salah satunya adalah program makan bergizi gratis (MBG). MBG yang menyasar 82,9 juta warga secara nasional itu telah mendapat persetujuan dalam Rapat Kerja Komisi XI DPR RI dengan pemerintah pada 6 Juni 2024. 

Anggaran yang telah disetujui mencakup prakiraan anggaran makan siang gratis yang telah disepakati mendekati angka Rp 460 triliun dan berjalan penuh sampai dengan tahun 2029. 

Untuk program MBG pada 2025, telah dianggarkan Rp 71 triliun atau 0,29 persen terhadap PDB pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2025. Program MBG diharapkan dapat menyumbang peningkatan pertumbuhan ekonomi Indonesia sekitar 0,10 persen pada 2025. 

Di sisi lain, adanya kewajiban pembayaran cicilan bunga utang yang jatuh tempo pada 2025 sebesar Rp 559,2 triliun (bunga utang dalam negeri Rp 497,62 triliun dan luar negeri Rp 55,23 triliun) kian menambah tekanan pada neraca pembayaran. 

Bahkan, alokasi anggaran tersebut belum termasuk pembayaran pokok cicilan utang. 

Terlebih, jika mengamati secara tren sejak 2020, pembayaran bunga utang yang pemerintah lakukan terus beranjak naik. Pada era Jokowi memulai periode kedua kepemimpinannya, bunga utang mencapai Rp 314,1 triliun. 

Artinya, dalam kurun lima tahun terakhir pembayaran bunga utang meningkat lebih dari Rp 200 triliun, seiring dengan menggunungnya utang pemerintah. 

Ambisi Presiden Prabowo yang menargetkan pertumbuhan ekonomi 8 persen seharusnya diiringi pula dengan keberanian melakukan penghematan di sektor birokrasi. 

Artinya, upaya penghematan anggaran di semua kementerian dan lembaga yang dicanangkan pemerintah tanpa mempertimbangkan ”penghematan kuantitas” (baca: pengurangan) lembaga yang ada dinilai sejumlah kalangan akan ”jauh panggang dari api’. 

Sebab, jumlah anggota kabinet pemerintahan presiden dan wakil presiden, berkomposisi 48 menteri dan 55 wakil menteri (wamen). Jumlah itu lebih banyak daripada era kabinet pemerintahan Indonesia Maju Presiden Jokowi dan Wapres Ma’ruf Amin yang hanya berjumlah 34 menteri dan 18 wamen. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: