100 Tahun Pramoedya: Mengenang Karya dan Perjuangan sang Pahlawan Sastra Indonesia

100 Tahun Pramoedya: Mengenang Karya dan Perjuangan sang Pahlawan Sastra Indonesia

Pramoedya Ananta Toer, seorang sastrawan legendaris Indonesia yang memberikan kontribusi besar bagi dunia sastra dan perjuangan sosial. --

JAKARTA, HARIAN DISWAY - Hari ini adalah hari peringatan 100 tahun kelahiran Pramoedya Ananta Toer, sastrawan besar yang lahir pada 6 Februari 1925 di Blora, Jawa Tengah, yang telah memberikan warisan sastra yang tak ternilai.

Pram -panggilannya- tidak hanya dikenal sebagai seorang penulis, tetapi juga sebagai seorang pejuang yang menghadapi banyak tantangan dalam hidupnya terutama dalam mengekspresikan kebebasan berpendapat dan memperjuangkan keadilan sosial.

BACA JUGA: Mengenal Tetralogi Buru dan Dampaknya dalam Sastra Indonesia

Pram memulai karier menulisnya pada akhir tahun 1940-an. Karyanya yang pertama kali mendapat perhatian adalah Perburuan (1950), sebuah novel yang menggambarkan perjuangan rakyat Indonesia dalam menghadapi penjajahan.

Selain Perburuan, Pram juga menulis Keluarga Gerilya (1950) yang juga berfokus pada perjuangan revolusi. Namun, tak hanya soal perjuangan fisik, Pramoedya juga menggali lebih dalam kehidupan manusia dalam konteks sosial dan politik.

Namun, perjalanan hidupnya tak selalu mulus. Pada masa pemerintahan Orde Baru, Pram ditahan dan dibuang ke Pulau Buru tanpa proses hukum yang jelas. Meskipun hidupnya dipenuhi dengan penderitaan, Pram tetap produktif menulis.

Bahkan selama di pengasingan. Dari sana lahir karya monumental seperti Bumi Manusia (1980), Anak Semua Bangsa (1980) dan jejak langkah (1985) yang kemudian dikenal Tetralogi Buru. Karya-karya ini tidak hanya menggambarkan perjuangan, tetapi juga menajdi kritik terhadap ketidakadilan dan penindasan yang ada di dalam masyarakat.

BACA JUGA: Mengapa "Bumi Manusia" Masih Relevan Hingga Kini?

Pram tidak hanya dikenal di Indonesia. Karya-karyanya mendapatkan pengakuan internasional dan diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Pada tahun 1995, ia menerima penghargaan Ramon Magsaysay yang sering dianggap sebagai Nobel Asia.

Namun, meskipun mendapat pengakuan dunia, Pramoedya tetap menjadi sosok yang penuh kontroversi di tanah airnya. Pemerintah Orde Baru bahkan sempat berusaha untuk menghalangi penyebaran karya-karyanya, karena dianggap berisiko menggoyang stabilitas politik.

Peringatan 100 tahun Pramoedya Ananta Toer juga ditandai dengan pencetakan ulang karya-karyamya. Salah satu kolektor buku lawas, Harri Gieb, melalui akun media sosialnya mengungkapkan bahwa buku-buku Pramoedya akan dicetak ulang dengan desain sampul baru.

BACA JUGA: Apa yang Membuat Pramoedya Seorang Ikon Sastra Dunia?

Gieb menyatakan bahwa meskipun harga kertas yang terus melambung menjadi tantangan tersendiri, upaya ini merupakan bentuk penghargaan bagi warisan sastra Pram yang tetap relevan hingga kini. Tidak hanya itu, keluarga Pram juga turut berkunjung untuk mendukung insiatif tersebut.

Tidak hanya sebagai sastrawan, Pram merupakan simbol perjuangan kebebasan berekspresi. Dedikasinya terhadap sastra dan semangat perjuangannya untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia menjadikannya sebagai pahlawan sastra yang akan selalu dikenang oleh bangsa ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: