Figur Rausyan Fikr di Tengah Kalabendu Indonesia

Figur Rausyan Fikr di Tengah Kalabendu Indonesia

ILUSTRASI Figur Rausyan Fikr di Tengah Kalabendu Indonesia. HOS Cokroaminoto bisa jadi adalah rausyan fikr di Indonesia.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Reformasi untuk sesaat memberikan harapan, sampai kemudian dalam satu dekade terakhir ini, Indonesia seperti mengulangi sejarah, masuk lagi ke era kegelapan. Situasi kembali terpuruk, mulai ekonomi, politik, hukum, etika, hingga moral. 

Korupsi terjadi di segala lini. Lagi-lagi masyarakat dibuat tak berdaya untuk mengatasi masa-masa sulit. Keadilan sulit didapat. Lapangan kerja terbatas. Kebohongan demi kebohongan para elite berlalu tanpa hukuman. Di bawah, kaum duafa menjerit. Di atas, para elite berpesta pora.  

Dalam situasi seperti itu, saya belum melihat tanda-tanda munculnya sosok semacam Cokroaminoto yang dapat memberikan harapan akan menolong bangsanya. Satu dua intelektual sudah kencang bersuara. Tapi, kekuatan kekuasaan dengan segala dukungan modalnya berusaha meredam suaranya. 

Pertanyaannya, apakah dalam keadaan demikian konsep rausyan fikr masih relevan dan dibutuhkan?

TANTANGAN KE DEPAN

Secara sosio-antropologis, bahkan historis, sebenarnya masyarakat Indonesia adalah masyarakat kerajaan. Namun, yang terjadi sekarang, masyarakat hidup dalam situasi republik yang menginginkan kehidupan lebih demokratis. 

Dari keadaan itu, tidak mengherankan, meski dalam proses penyelenggaraan demokrasi, perilaku feodalistik tetap belum hilang. Bahkan, pemimpin partai politik kerap tampil bak seorang raja. Harus jujur diakui, keberlangsungan pemilihan kepemimpinan selalu diwarnai oleh hadirnya figur-figur kuat.  

Satu poin didapat di sini, figuritas masih hidup dalam alam sadar masyarakat. Masyarakat masih butuh sosok kuat. Sosok yang mereka percaya bisa dijadikan panutan sekaligus memimpin kehidupan bangsa untuk menjadi lebih baik. Artinya, secara sosiologis, teori rausyan fikr masih relevan. Salah satu indikator, euforia a new hope satu dekade lalu.

Kini, yang menjadi tantangan ke depan adalah menemukan sosok yang mencirikan intelektual tercerahkan. Ia seharusnya adalah seseorang dengan karakter kuat, bervisi jauh ke depan, mampu memetakan persoalan secara jernih, trustworthy, dan bijaksana. 

Jika tak menemukan pribadi dengan kualitas seperti itu, mungkin saja rausyan fikr tidak mesti berbasis figur. Bisa saja berupa gerakan kolektif. Walaupun, itu menyisakan potensi berubahnya gerakan menjadi partai politik yang cenderung pragmatis. (*)

*) Mohammad Rozi adalah alumnus pascasarjana UGM, site Supervisor at King Edward Private School of Birmingham, dan diaspora, tinggal di Birmingham, Inggris.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: