Mengapa Perempuan Cenderung Menghilang Perlahan setelah Menikah?

Hilangnya jati diri perempuan setelah menikah adalah persoalan yang tak terlihat, namun dampaknya sangat nyata. --Pinterest
HARIAN DISWAY - Dulu, ia sangat menyukai ayam geprek level lima. Pedasnya membuat mata berair, tapi ia selalu tertawa puas setelah suapan terakhir. Kini, rasa itu hanya tinggal kenangan.
Di rumah barunya, tak seorang pun menyukai makanan pedas. Ia memilih diam, menyesuaikan, dan perlahan lupa bahwa ia pernah punya selera yang berbeda.
Pernikahan seringkali dianggap sebagai tujuan akhir perempuan. Namun, bagi sebagian perempuan, Pernikahan justru menjadi awal dari kehilangan dirinya sendiri.
BACA JUGA: Merayakan Hari Perempuan Internasional: Ini dia 5 Film Tentang Kekuatan dan Ketangguhan Wanita
Perubahan tidak selalu datang dalam bentuk besar. Kadang ia hadir dalam pilihan-pilihan kecil yang terus dikompromikan. selera makan, cara berpakaian, waktu bersama teman, hingga mimpi yang ditunda tanpa kepastian.
Dalam psikologi, ini berkaitan dengan fenomena identity foreclosure, keputusan seseorang untuk berhenti mengeksplorasi jati diri demi memenuhi ekspektasi sosial. Hal ini bukan hanya berdampak pada kebahagiaan, tetapi juga dapat mengarah pada perasaan terjebak dan kehilangan kontrol diri.
Banyak perempuan yang tak lagi mengenali dirinya setelah menikah. Ia yang dulu aktif di organisasi, kini berhenti karena waktu tak lagi miliknya sendiri.
Ia yang dulu ingin melanjutkan kuliah, akhirnya menyerah demi fokus pada rumah tangga. Ia yang dulu mencintai dunia kerja, mengundurkan diri karena pasangannya lebih nyaman bila ia di rumah saja.
Laporan The Paths to Equal" oleh UN Women dan UNDP (2023), ini mengungkapkan bahwa secara global, perempuan hanya mencapai sekitar 60% dari potensi penuh mereka dalam hal pemberdayaan, dengan kesenjangan gender yang signifikan dalam berbagai dimensi pembangunan manusia.
Laporan "Women’s Empowerment in Malaysia and Indonesia" (2023), Studi ini menunjukkan bahwa kesenjangan gender di Indonesia memburuk dari tahun 2020 hingga 2021, menyoroti perlunya upaya lebih lanjut untuk menutup kesenjangan tersebut, terutama dalam hal pemberdayaan perempuan dan pengambilan keputusan dalam rumah tangga.
Laporan dari Komnas Perempuan dalam Catatan Tahunan (CATAHU) 2023 menunjukkan bahwa kekerasan di ranah personal, termasuk dalam rumah tangga, merupakan kasus yang paling tinggi.
Hal ini mencerminkan ketimpangan relasi kuasa dalam rumah tangga dan keterbatasan perempuan dalam menentukan pilihan hidupnya sendiri. Selain itu, Komnas Perempuan menerima 4.374 pengaduan kasus kekerasan terhadap perempuan pada 2023.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: