Sensitivitas Gender dalam Program Dukungan Psikososial terhadap Korban Bencana

ILUSTRASI Sensitivitas Gender dalam Program Dukungan Psikososial terhadap Korban Bencana.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
BACA JUGA:Fenomena Femisida, Kekerasan Gender Ekstrem yang Terus Terulang
Tingkat pertama adalah dukungan yang dapat diberikan berbagai kalangan, yang disebut dengan dukungan psikososial awal (DPA) atau biasa dikenal sebagai psychological first aid (PFA).
Tingkat kedua diberikan oleh kalangan profesional secara umum. Profesional dan relawan yang terlatih seperti dokter, perawat, dan ahli kedaruratan dapat memberikan ketenangan sambil menjalankan peran bidangnya.
Tingkat ketiga adalah dukungan yang hanya dapat diberikan oleh ahli di bidang kesehatan mental-psikologis. Sebanyak 5–12 persen penyintas bencana mengalami permasalahan kesehatan serius yang memerlukan penanganan spesialis kesehatan mental. DPA berperan menghindarkan kondisi mental korban berkembang serius.
BACA JUGA:Suwek Gendero Londo!
BACA JUGA:Setelah Dilantik, Trump Tegaskan Hanya Ada 2 Gender
DUKUNGAN PSIKOSOSIAL AWAL (DPA) RESPONSIF GENDER
DPA dilakukan dengan cara menerima dan mendengarkan penyintas atau korban tanpa melakukan penilaian, mempertanyakan, atau memberikan arahan atau nasihat. Masyarakat atau relawan cukup mendampingi penyintas, mendengarkan keluhannya, dan memberikan kebutuhan tanpa banyak bertanya.
Korban perlu ketenangan, dibawa ke tempat aman, dijaga, diberi makan/minum, baju hangat dan sejenisnya, serta dipahami reaksi-reaksi psikologisnya. Orang dapat menenangkan korban, mendiamkan tangis berkepanjangan, atau membantu mengatur pernapasan.
Pada tingkat itu, yang utama adalah keselamatan dan keberadaan orang lain yang memahami kondisi dan situasi korban. Tiga prinsip DPA yang digunakan: Lihat-Dengar-Hubungkan.
Prinsip pertama dalam DPA, yaitu Lihat, adalah mendengarkan kebutuhan penyintas bencana. Dalam hal ini, penting untuk memperhatikan kebutuhan khusus kelompok rentan, termasuk perempuan. Perempuan sering kali menghadapi risiko ganda dalam situasi bencana, baik secara fisik maupun psikososial.
Selain mengalami trauma akibat bencana itu sendiri, perempuan juga menghadapi tekanan tambahan seperti beban ganda merawat keluarga, menyediakan makanan, dan beban domestik lain. Secara biologis, perempuan menjalani kondisi menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui.
Kondisi itu juga terjadi saat mereka menjadi penyintas bencana dan mensyaratkan kebutuhan yang sesuai.
Perempuan juga rentan menjadi korban kekerasan, baik disebabkan pandangan yang merendahkan martabat perempuan maupun kemiskinan akibat bencana juga kerap mengorbankan perempuan.
Komnas Perempuan mencatat peningkatan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), terutama kekerasan terhadap istri, peningkatan angka pernikahan usia dini, perempuan menjadi korban calo untuk bekerja di luar negeri, dan menjadi pekerja seks dan korban trafficking lainnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: