Mengulas Kembali Kebebasan Pers di Masa Orde Baru sebelum Reformasi Lewat Ekspresi Seni ARTJOG 2025

Mengulas kembali kebebasan pers di masa Orde Baru sebelum reformasi lewat objek seni pada pameran ARTJOG 2025. - Boy Slamet - Harian Disway
Namun, suatu ketika, muncul aksi demonstrasi yang berlangsung secara besar-besaran di berbagai kota besar karena munculnya rasa ketidakpuasan dari masyarakat terhadap kinerja pemerintah.
Alasannya, masyarakat menganggap penerintah kurang bisa menyelesaikan maslah ekonomi, serta korupsi dan nepotisme yang terjadi di lembaga pemerintah.
Banyak mahasiswa maupun warga sipil yang menjadi korban dalam kegiatan demonstrasi tersebut. Berdasarkan buku karangan Hill yang bertajuk Pers di Masa Orde Baru, sebanyak 470 orang ditahan karena mengkritik pemerintah dalam kegiatan demonstrasi tersebut.
Objek seni ARTJOG 2025 yang menggambarkan kebebasan Demokrasi pasca Reformasi 1998, seperti tabuhan drum. - Ilmi Bening - Harian Disway
Pemerintah kemudian mencabut Surat Izin Terbit (SIT) dan Surat Izin Cetak (SIC) beberapa media yang berani mengkritisi kebijakan pemerintah, seperti koran Harian Indonesia Raya, Harian KAMI, Pedoman, dan Abadi.
Salah satu jurnalis ikut ditahan pada saat itu. Salah satunya adalah Mochtar Lubis yang bekerja di media Harian Indonesia Raya. Jurnalis yang dianggap menjelek-jelekan pemerintah tercatat dalam daftar hitam milik pemerintah.
BACA JUGA: Resmi Ditutup Tisna Sanjaya, Animo Masyarakat pada ARTJOG 2024 Meningkat Dibandingkan Tahun Lalu
Padahal, pers adalah salah satu jalan untuk menjembatani rakyat dan pemerintah. Pers menjadi harapan bagi orang-orang yang tidak memiliki kuasa untuk mendapatkan hak dan keadilan.
Tetapi, pemerintah masa Orde Baru sepertinya tidak menyukai golongan orang-orang yang memberikan kritik terhadap kinerjanya waktu itu. Kerusuhan sering terjadi di masa pemerintahan Orde Baru, banyak rakyat yang mendesak agar Presiden Soeharto segera lengser dari jabatannya.
Puncaknya terdapat pada kerusuhan Mei 1998. Ada 4 mahasiswa dari Universitas Trisakti yang tewas karena melakukan perlawanan kepada aparat. Setelah itu, presiden Soeharto menyatakan pengunduran diri pada Mei 1998 dan mengumumkan B.J. Habibie sebagai penggantinya.
Presiden B.J. Habibie yang merupakan pemimpin dari masa Reformasi menetapkan hukum dan kebijakan dan aspirasi rakyat, sehingga siapa pun bebas mengutarakan pendapatnya. Era Reformasi merupakan kemajuan dari demokrasi karena suara rakyat bisa didengar.
BACA JUGA: ArtJog Lagi, Kapan ArtBaya?
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: